Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Badal Haji: Pengertian, Hukum, dan Ketentuan Pelaksanaannya
21 Juli 2022 9:31 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pergi haji merupakan ibadah yang paling didambakan umat Islam. Tak hanya memperoleh pahala, rukun Islam kelima ini juga dapat menyempurnakan keislaman umat Muslim.
ADVERTISEMENT
Namun, berbagai kondisi bisa menghalangi seseorang untuk menunaikan ibadah haji langsung ke tanah suci Makkah . Persoalannya mulai dari biayanya yang sangat besar, antrean keberangkatan yang lama, hingga terkendala usia dan kesehatan.
Bahkan tak sedikit orang yang belum bisa menunaikan ibadah haji hingga akhir hayatnya, padahal sudah mampu dari segi harta, jasmani, maupun rohani. Sebagai solusi untuk menghadapi kondisi tersebut, Islam mengenal istilah badal haji.
Apa itu badal haji? Untuk mengetahui pengertian dan ketentuannya menurut syariat Islam, simak penjelasannya berikut ini.
Pengertian Badal Haji dan Dalilnya
Dikutip dari buku Ensiklopedia Fiqih Haji dan Umrah tulisan Agus Arifin, secara bahasa badal artinya pengganti atau wakil. Sedangkan menurut istilah, badal haji adalah haji yang dilakukan atas nama orang lain yang sudah meninggal atau bagi yang masih hidup tetapi memiliki udzur (jasmani dan rohani), sehingga tidak dapat melaksanakan ibadah haji sendiri.
ADVERTISEMENT
Badal haji bagi orang yang masih hidup dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa ada seorang wanita dari daerah Khats’am mengadu ke Rasulullah:
“Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku sudah wajib melaksanakan haji. Akan tetapi, kondisinya sudah tua renta dan tidak bisa duduk tegak di atas punggung untanya.” Maka Rasulullah menjawab, “Hajikanlah ia.” (HR. Ahmad)
Sementara itu, pembahasan tentang haji badal bagi orang yang sudah meninggal adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas yang berbunyi:
Bahwasannya, ada seorang wanita dari daerah Juhainah datang ke Nabi SAW, kemudian ia berkata, “Sesungguhnya ibuku telah bernazar untuk haji, akan tetapi sebelum sempat melaksanakannya ia meninggal dunia. Apakah saya harus menghajikannya?”
Rasulullah SAW bersabda, “Ya, hajikanlah ia. Karena bagaimana menurutmu seandainya ibumu mempunyai utang bukanlah engkau harus melunasinya? Tunaikanlah hak Allah, sesungguhnya hak Allah itu lebih berhak untuk dipenuhi.”
Hukum Badal Haji dan Ketentuan Pelaksanaannya
Menurut Nursilaturahmah dalam buku Hukum Badal Haji dan Umrah, badal haji menjadi wajib, apabila orang yang memiliki uzur naik haji meninggal dunia dan telah mewasiatkan ke ahli warisnya untuk menunaikan kewajiban tersebut.
ADVERTISEMENT
Seorang Muslim yang telah memenuhi syarat Isthitha’ atau mampu secara fisik dan finansial, sejatinya wajib untuk menunaikan haji. Namun, jika secara finansial ia mampu tapi secara fisik sakit, lemah, atau bahkan meninggal dunia, kewajiban ini bisa diwakilkan oleh orang lain.
Dengan demikian, haji nazar atau haji wasiat hukumnya wajib untuk dibadalkan haji. Sebab, hal tersebut merupakan hak Allah yang harus dibayarkan.
Apabila yang bersangkutan tidak berwasiat ke ahli waris, keluarganya boleh saja menunaikan dengan harta benda yang ditinggalkan. Dengan syarat, orang yang sudah meninggal beragama Islam dan orang yang mewakilinya sudah melaksanakan haji untuk dirinya sendiri.
Orang yang boleh melakukan badal haji adalah seseorang yang pernah melakukan haji dan memenuhi syarat-syarat haji lainnya seperti sehat, berakal, dan merdeka.
ADVERTISEMENT
Hal ini disebutkan dalam hadits dari Ibnu Abbas di mana saat melaksanakan haji Rasulullah mendengar seorang lelaki berkata “Labaik’an as-Syubramah’. Kemudian Rasulullah bertanya, “Siapa Syubramah?” Laki-laki itu menjawab, “Dia saudaraku, ya Rasulullah.”
“Apakah kau sudah pernah haji?” tanya Rasulullah lagi. “Belum,” jawabnya. “Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubramah,” lanjut Rasulullah. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Daruqthni)
Sedangkan tata cara pelaksanaan badal haji, sama seperti pelaksanaan haji untuk diri sendiri. Perbedaan di antara keduanya berada pada bacaan niat, yakni ketika membaca niat harus diniatkan untuk orang yang dihajikan.
(VIO)