Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Bagaimana Hukum Kredit dalam Islam, Halal atau Haram?
14 Desember 2021 15:44 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pembahasan tentang hukum kredit dalam Islam masih sering diperdebatan. Tidak hanya masyarakat awam, para ulama pun memiliki pandangan yang berbeda dalam menyikapinya.
ADVERTISEMENT
Jual beli kredit erat kaitannya dengan bunga dan tagihan. Dalam praktiknya, kredit terjadi saat kesepakatan pinjam meminjam antara pihak bank dengan pihak kedua dilaksanakan.
Nantinya, pihak kedua (pihak yang meminjam) akan diberi keringanan untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan sejumlah bunga. Besaran bunga biasanya disepakati oleh kedua belah pihak di awal perjanjian.
Beberapa orang menganggap bahwa kredit adalah bagian dari riba. Sehingga, praktiknya dilarang dan diharamkan dalam Islam . Benarkah demikian? Agar lebih memahaminya, simak penjelasan berikut.
Hukum Kredit dalam Islam
Hukum kredit dalam Islam merupakan perkara khilafiyah yang masih diperdebatkan para ulama. Jika dilihat dari pendapat beberapa golongan, hukumnya terbagi menjadi dua yakni mubah dan haram.
Abu Bakar al-Jassas (dari kalangan Ḥanafīyyah), Ibn Ḥazm al-Zahiri, Zain al-Abidin ‘Ali Ibn al-Ḥusain, Imam Nasiruddin al-Albani, dan Syaikh Salim al-Hilali berpendapat bahwa, selisih lebih dari keuntungan yang dipengaruhi oleh waktu (harga tunai lebih mahal dari harga tangguh) adalah tidak sah.
ADVERTISEMENT
Alasan mereka beragam, ini didasarkan pada dalil Alquran dan Sunnah. Dikutip dari jurnal berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Jual Beli Kredit Online Pada Aplikasi Cicil.co.id karya Muhammad Danirrahman, ulama golongan ini berpendapat bahwa kredit termasuk riba yang diharamkan dalam Islam.
Selain itu, kredit juga termasuk konsumsi harta yang batil dan gharrar. Dasar hukumnya adalah Surat An-Nisa ayat 29, di mana Allah Swt berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”
Berbeda dengan pendapat tersebut, Ulama Ḥanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah justru mengatakan bahwa selisih lebih dari keuntungan yang dipengaruhi oleh jangka waktu (harga tunai lebih mahal dari harga tangguh) adalah sah. Keuntungan ini sifatnya mubah atau dibolehkan dalam Islam.
Menurut mereka, angsuran dalam kredit bukanlah konsumsi harta yang batil. Sebab, transaksi tersebut dilakukan tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun.
ADVERTISEMENT
Dalam Daru al-Kutub al-Ilmiyyah, Atsar sahabat riwayat Ibn Abi Syaibah, dari Ibn ‘Abbas r.a. juga mengatakan,
“Tidaklah mengapa (boleh) seseorang menawarkan barang dagangannya dengan dua harga, harga tunai sekian dan harga tangguh atau angsuran sekian, tetapi harus jelas mana yang dipilih sehingga jelas saling ridahnya.”
Dari pernyataan tersebut telah jelas bahwa angsuran dibolehkan dalam Islam, selama ditentukan dengan akad yang pasti. Dikutip dari Channel Youtube Yufid TV, Ustadz Ammi Nur Baits juga mengatakan bahwa mayoritas ulama membolehkan transaksi kredit.
Mereka tidak mengategorikan kredit sebagai transaksi jual beli yang gharrar atau riba, melainkan sebagai opsi dari jual beli saja. Oleh karena itu, umat Muslim dianjurkan mengikuti pendapat jumhur atau mayoritas ulama. Sebab, pendapat ini dinilai lebih kuat dan didukung oleh banyak dalil shahih.
ADVERTISEMENT
(MSD)