Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bagaimana Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi dalam Islam? Ini Dalilnya
27 Desember 2024 15:11 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Para ulama memiliki pandangan yang berbeda terkait hal ini. Sebagian menganggap perayaan tahun baru bertentangan dengan ajaran Islam, sementara yang lain berpendapat bahwa perayaan tersebut merupakan tradisi non-muslim yang tidak didasarkan pada syariat Islam.
Perbedaan pendapat ini tentu menimbulkan tanda tanya di kalangan umat muslim. Untuk mengetahui hukum merayakan tahun baru Masehi dalam Islam, simak penjelasan selengkapnya di bawah ini.
Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi dalam Islam
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, para ulama memiliki pandangan yang berbeda mengenai hukum merayakan tahun baru Masehi dalam Islam . Sebagian menganggapnya sebagai tasyabbuh, sementara yang lainnya tidak melarang.
Setiap ulama memiliki dalil yang mendasari pendapat mereka, baik yang melarang maupun yang memperbolehkan perayaan tahun baru Masehi. Berikut adalah hukum merayakan tahun baru berdasarkan dalil-dalil tersebut:
ADVERTISEMENT
Pendapat yang Mengharamkan Perayaan Tahun Baru Masehi
Jumhur ulama melarang umat Islam untuk merayakan tahun baru Masehi karena dianggap sebagai tasyabbuh, yaitu meniru perbuatan orang kafir atau fasik, yang hukumnya haram. Hal ini dianggap dapat mengarah pada penguatan budaya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Mengutip buku “The Tausiyah” karya David Alfitri, meskipun perayaan tahun baru dilakukan dengan niat dan kegiatan positif, namun hal tersebut tetap dianggap haram dan bid'ah karena Rasulullah saw tidak pernah mengajarkannya. Selan itu, tidak ada tuntunan dari ajaran Islam yang menyarankan perayaan tersebut.
Hal ini juga diperjelas dalam sebuah hadis, dimana Musa bin Ismail menceritakan kepada kami Hammad, dari Humaid, dari Anas, yang berkata:
“Rasulullah saw tiba di Madinah sedang penduduknya memiliki dua hari yang biasa dirayakan. Kemudian, Rasulullah bersabda: “Ada apa dengan dua hari itu?” Mereka berkata, “kami sudah biasa merayakannya sejak zaman jahiliyah.”
ADVERTISEMENT
Rasulullah saw pun bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari tersebut dengan hari yang lebih baik, yakni hari Adha dan Fitri.”
Pendapat yang Membolehkan Perayaan Tahun Baru Masehi
Menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), tidak ada larangan untuk merayakan tahun baru Masehi atau mengucapkan selamat tahun baru.
MUI hanya mengimbau agar perayaan tersebut dilakukan secara sederhana, tidak berlebihan, dan tidak mengganggu ketenangan orang lain.
Pandangan ini sejalan dengan pernyataan Guru Besar Al-Azhar Asy-Syarif serta Mufti Agung Mesir, Syekh Athiyyah Shaqr (wafat 2006 M). Dalam kompilasi fatwa ulama Al-Azhar, ia menyatakan:
وَقَيْصَرُ رُوْسِيَا "الإِسْكَنْدَرُ الثَّالِثُ" كَلَّفَ الصَّائِغَ "كَارِلْ فَابْرَج" بِصَنَاعَةِ بَيْضَةٍ لِزَوْجَتِهِ 1884 م، اسْتَمَرَّ فِي صُنْعِهَا سِتَّةَ أَشْهُرٍ كَانَتْ مَحِلَّاةً بِالْعَقِيْقِ وَالْيَاقُوْتِ، وَبَيَاضُهَا مِنَ الْفِضَّةِ وَصِفَارُهَا مِنَ الذَّهَبِ، وَفِى كُلِّ عَامٍ يَهْدِيْهَا مِثْلَهَا حَتَّى أَبْطَلَتْهَا الثَّوْرَةُ الشُّيُوْعِيَّةُ 1917 م. وَبَعْدُ، فَهَذَا هُوَ عِيْدُ شَمِّ النَّسِيْمِ الَّذِي كَانَ قَوْمِيًّا ثُمَّ صَارَ دِيْنِيًّا فَمَا حُكْمُ احْتِفَالِ الْمُسْلِمِيْنَ بِهِ؟ لَا شَكَّ أَنَّ التَّمَتُّعَ بِمُبَاهِجِ الْحَيَاةِ مِنْ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَتَنَزُّهٍ أَمْرٌ مُبَاحٌ مَا دَامَ فِى الْإِطَارِ الْمَشْرُوْعِ الَّذِي لَا تُرْتَكَبُ فِيْهِ مَعْصِيَّةٌ وَلَا تُنْتَهَكُ حُرْمَةٌ وَلَا يَنْبَعِثُ مِنْ عَقِيْدَةٍ فَاسِدَةٍ
ADVERTISEMENT
Artinya: “Kaisar Rusia, Alexander III pernah mengutus seorang tukang emas 'Karl Fabraj' guna membuat topi baja untuk istrinya pada tahun 1884 M. Proses pembuatannya berlangsung selama 6 bulan. Topi itu ditempeli batu akik dan permata. Warna putihnya dari perak dan warna kuningnya dari emas.
Di setiap tahunnya ia menghadiahkan topi serupa kepada istrinya hingga kemudian istrinya ditumbangkan oleh pemberontakan kelompok komunisme pada tahun 1917 M. Mulanya acara ini merupakan suatu perayaan 'Sham Ennesim' yang merupakan tradisi lokal Mesir lantas berubah menjadi tradisi keagamaan.
Lalu bagaimanakah hukum memperingati dan merayakannya bagi seorang muslim? Tak diragukan lagi bahwa bersenang-senang dengan keindahan hidup yakni makan, minum dan membersihkan diri merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama masih selaras dengan syariat, tidak mengandung unsur kemaksiatan, tidak merusak kehormatan, dan bukan berangkat dari akidah yang rusak." [Wizarah Al-Auqof Al-Mishriyyah, Fatawa Al-Azhar, juz X, halaman 311).
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan fatwa Mufti Agung Mesir, ulama Hadis ternama dari Haramain, Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki (wafat 2004 M), dalam bukunya juga menegaskan bahwa:
جَرَتْ عَادَاتُنَا أَنْ نَجْتَمِعَ لإِحْيَاءِ جُمْلَةٍ مِنَ الْمُنَاسَبَاتِ التَّارِيْخِيَّةِ كَالْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ وَذِكْرَى الْإِسْرَاءِ وَالْمِعْرَاجِ وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَالْهِجْرَةِ النَّبَوِيَّةِ وَذِكْرَى نُزُوْلِ الْقُرْآنِ وَذِكْرَى غَزْوَةِ بَدْرٍ وَفِى اعْتِبَارِنَا أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ عَادِيٌّ لَا صِلَةَ لَهُ بِالدِّيْنِ فَلَا يُوْصَفُ بِأَنَّهُ مَشْرُوْعٌ أَوْ سُنَّةٌ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ مُعَارِضًا لِأَصْلٍ مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ لأَنَّ الْخَطَرَ هُوَ فِى اعْتِقَادِ مَشْرُوْعِيَّةِ شَيْءٍ لَيْسَ بِمَشْرُوْعٍ
Artinya: “Sudah menjadi tradisi bagi kita berkumpul untuk menghidupkan berbagai momentum bersejarah, seperti halnya maulid nabi, peringatan isra mi’raj, malam nishfu sya’ban, tahun baru hijriyah, nuzulul qur’an dan peringatan perang Badar.
ADVERTISEMENT
Menurut pandanganku, peringatan-peringatan seperti ini merupakan bagian daripada tradisi, yang tidak terdapat korelasinya dengan agama, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang disyariatkan ataupun disunahkan.
Kendati demikian, juga tidak berseberangan dengan dasar-dasar agama, sebab yang justru mengkhawatirkan ialah timbulnya keyakinan terhadap disyariatkannya sesuatu yang tidak disyariatkan.” [Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahihah, [Surabaya: As-Shafwah Al-Malikiyyah], halaman 337-338.
Berdasarkan dua dalil tersebut, perayaan tahun baru dalam Islam dapat dianggap sebagai tradisi yang tidak terkait langsung dengan ajaran agama.
Selain itu, tidak terdapat firman Allah Swt dalam ayat Al-Qur'an yang melarang dengan tegas perayaan pergantian tahun Masehi. Maka, tidak ada larangan bagi umat Islam dalam merayakan pergantian tahun, asalkan kegiatan yang dilakukan dalam momen tersebut tidak melibatkan perbuatan dosa.
ADVERTISEMENT
(RK)