Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Bagaimana Hukum Tahlilan Menurut Muhammadiyah? Ini Penjelasannya
23 September 2022 8:03 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tahlilan merupakan tradisi Islam Nusantara yang dilakukan untuk mendoakan teman, keluarga, maupun kerabat lain yang sudah meninggal dunia. Tujuannya agar orang yang meninggal diterima segala amal ibadahnya dan diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT.
ADVERTISEMENT
Mengutip buku Tradisi-tradisi Islam Nusantara Perspektif Filsafat dan Ilmu Pengetahuan oleh Puji Rahayu dkk., sebelum tahlilan dimulai, jemaah biasanya juga akan membaca beberapa kalimat thayyibah, yakni hamdalah, sholawat, tasbih, ayat suci Al-Quran, dan hailallah (tahlil).
Selain bermanfaat bagi orang yang meninggal, tahlilan juga bisa dijadikan sarana berdakwah bagi umat Muslim yang masih hidup. Kegiatan ini mengajak para jamaah berbuat kebaikan dan jauh dari kemunkaran.
Meski tujuannya baik, hukum tahlilan sejatinya masih diperdebatkan. Ada yang membolehkan, ada pula yang mengatakan hukumnya bid’ah. Lalu, bagaimana hukum tahlilan menurut Muhammadiyah?
Hukum Tahlilan Menurut Muhammadiyah
Bagi kalangan yang memperbolehkannya, tahlilan dilaksanakan dengan landasan firman Allah yang menyebutkan bahwa berdoa untuk orang yang sudah meninggal akan bermanfaat bagi mereka. Allah SWT berfirman:
ADVERTISEMENT
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10)
Namun, bagi sebagian besar pengikut Muhammadiyah , tahlilan hukumnya bid’ah, yaitu melakukan ibadah yang tidak pernah diajarkan. Bahkan kegiatan ini tidak pernah diamalkan Rasulullah SAW maupun para sahabatnya. Hal itu termuat dalam Suara Muhammadiyah dan buku Tanya Jawab Agama II:
“Masalah tahlilan orang yang meninggal dunia merupakan masalah khilafiyah (terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama). Di kalangan para pendukung gerakan Islam pembaharu (tajdid) yang berorientasi kepada pemurnian ajaran Islam, seperti Muhammadiyah, sepakat memandang tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai bid’ah yang harus ditinggalkan karena tidak ada tuntunannya dari Rasulullah.”
Fajar Rachmadani menjelaskan lebih lanjut hukum tahlilan menurut Muhammadiyah dalam jurnal Konsep Bid’ah Perspektif Muhammadiyah; Kajian Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.
ADVERTISEMENT
Dalam jurnal tersebut, dijelaskan bahwa jika yang dimaksud dengan tahlilan adalah membaca “Laa ilaha illallah”. Muhammadiyah tidak melarang, bahkan menganjurkan agar memperbanyak membacanya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Namun, jika tahlilan diadakan sebagai acara yang berkaitan dengan tujuh hari kematian, 40 hari kematian, 100 hari kematian, dan seterusnya, ini sama seperti yang dilakukan umat Hindu. Muhammadiyah melarangnya dan menggolongkannya sebagai bid’ah.
Terlebih jika tahlilan dilaksanakan dengan mengeluarkan biaya besar sampai harus meminjam uang kepada tetangga atau saudara sehingga terkesan tabzir (berbuat mubadzir). Ini jelas sangat tidak diperbolehkan.
(ADS)