Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Cacahing Wanda Saben Sagatra Diarani, Bagaimana Kelanjutan Kalimatnya?
16 Juli 2021 11:30 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kalimat cacahing wanda saben sagatra diarani kerap ditemukan dalam mata pelajaran bahasa Jawa untuk jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD). Biasanya, murid-murid diminta melanjutkan kalimat tersebut.
ADVERTISEMENT
Cacahing wanda saben sagatra diarani sebenarnya merupakan bagian dari kalimat aturan geguritan. Di mana geguritan sendiri terdiri dari tiga aturan yang mengikat.
Untuk mengetahui kelanjutan kalimat cacahing wanda saben sagatra diarani, yuk simak pembahasan di bawah ini.
Cacahing Wanda Saben Sagatra Diarani
Cacahing wanda saben sagatra diarani.....
Jawaban yang cocok untuk melengkapi kalimat tersebut, yakni guru wilangan. Jika digabungkan, kalimat ini menjadi cacahing wanda saben sagatra diarani guru wilangan yang artinya "jumlah kata per suku kata disebut guru angka".
Seperti dibahas sebelumnya, kalimat di atas merupakan bagian dari aturan geguritan. Mengutip buku Widya Dharma Agama Hindu SMP kls 9 tulisan I Wayan Midastra dan I Ketut Maruta, geguritan/sekar alit/sekar macapat diikat oleh aturan padalingsa, antara lain:
ADVERTISEMENT
Apa Itu Geguritan?
Mengutip buku Geguritan Tradisional dalam Sastra Jawa yang ditulis oleh Dhanu Priyo Prabowo, dkk. (2002), geguritan adalah karya sastra Jawa berjenis puisi. Pada awalnya, geguritan selalu didahului dengan kalimat sun gegurit atau sun anggurit yang artinya "aku mengarang atau membaca guritan".
Di samping itu, Subalidinata (1999) mengartikan geguritan sebagai susunan bahasa seperti syair, sehingga ada beberapa pihak yang menyatakan geguritan sebagai syair Jawa cara baru.
Kemudian beberapa sumber mendefinisikan geguritan sebagai genre atau karya sastra yang biasanya ditulis dengan metrum-metrum macapat.
ADVERTISEMENT
Karya sastra yang disebut dengan guguritan ini memiliki larik yang jumlahnya tidak tetap. Namun jumlah suku kata di dalam setiap larik dan bunyi akhir lariknya selalu sama. Biasanya, karya tulis ini dituliskan sebagai sindiran terhadap keadaan masyarakat.
Sementara itu puisi Jawa dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Puisi Jawa Tradisional
Puisi Jawa tradisional adalah puisi yang masih terikat peraturan. Puisi ini dapat berupa tembang, parikan, guritan, singir, dan tembang dolanan anak-anak.
Puisi Jawa tradisional berbentuk tembang terbagi menjadi tiga golongan besar, yakni:
ADVERTISEMENT
2. Puisi Jawa Modern
Puisi Jawa modern merupakan puisi yang tidak terikat dengan norma ketat.
Contoh Geguritan
Agar lebih mudah memahaminya, simak contoh geguritan berikut ini:
Contoh 1
Yo pra kanca dolanan nengjaba
Padhang bulan padhange kaya rim
Rembulane ne angawe awe
Ngilingake aja turn sore sore.
(JMK, him. 129)
Mari teman-teman bermain di luar
Terang bulan terangnya bagai siang
Bulan melambai-lambai
Mengingatkan jangan tidur sore-sore
Contoh 2
del ndedel kae mumbul
Iho layangane wama-wama dhapukane
del ndedel kae muluk
wah layangane manca-wama pulasane
bat tobat becike
wah aku gumun
kaya kupu Ian satelit
sekuter naga Ian kinjeng
kae montore mabur jdjer jaran sembrani
aja nyangkut bareng wae
dimen awet ora pedhot benange
ADVERTISEMENT
(LD, him. 16)
naik kuda itu membumbung
Iho layang-layangnya bermacam-macam bentuknya
naik naik itu meninggi
wah layang-layangnya berwama-wami pewaraaannya
alangkah bagusnya
wah saya kagum
bagaikan kupu-upu dan satelit
vespa naga dan capung
itu kapal terbangnya beijajar dengan kuda terbang
jangan bersentuhan bersama-sama saja
agar awet tidak putus benangnya
(GTT)