Konten dari Pengguna

Cultuurstelsel Adalah Sistem Tanam Paksa, Ini Isi Kebijakannya

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
16 Mei 2021 15:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Benteng Van Den Bosch di Ngawi Jawa Timur Foto: Instagram: Novemlawalata
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Benteng Van Den Bosch di Ngawi Jawa Timur Foto: Instagram: Novemlawalata
ADVERTISEMENT
Saat menjajah wilayah Nusantara selama ratusan tahun, pemerintah kolonial Belanda kerap mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Salah satunya adalah cultuurstelsel atau tanam paksa. Sistem tanam paksa dibuat oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830.
ADVERTISEMENT
Adapun latar belakang lahirnya kebijakan ini adalah kala itu Belanda mengalami defisit keuangan yang disebabkan oleh besarnya biaya perang. Di abad ke-19 Belanda harus menghadapi perang Padri, perang Diponegoro, dan perang melawan Belgia.
Apa yang dimaksud cultuurstelsel? Untuk memperkaya pengetahuan mengenai sejarah bangsa, simak penjabarannya berikut ini:

Cultuurstelsel, Sistem Tanam Paksa yang Menyengsarakan Rakyat

Kereta lori mengangkut tebu di kawasan Madukismo, Bantul, DI Yogyakarta, Selasa (30/6/2020). Foto: Hendra Nurdiansyah/ANTARAFOTO
Melansir Encyclopaedia Britannica, cultuurstelsel atau tanam paksa adalah kebijakan yang dikeluarkan Johannes Van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan seperlima tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor yang laku di pasar Eropa.
Mengutip buku Sejarah Perekonomian Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI (1996) tujuan Van den Bosch dijadikan Gubernur Jendral adalah untuk mentransformasi pulau Jawa menjadi exportir besaran-besaran dari produk-produk agrarian seperti kopi, gula, nila, tembakau, teh, lada, kayu manis, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Mereka yang tidak memiliki tanah diminta untuk bekerja di ladang milik pemerintah selama seperlima tahun atau 66 hari. Keuntungan dari penjualannya terutama mengalir ke kas Belanda.
Ilustrasi petani tembakau. Foto: ANTARA/Harviyan Perdana Putra
Menurut aturan, tenaga untuk menggarap tanah yang dikhususlan untuk komoditi ekspor tidak melebihi tenaga untuk menggarap penanaman padi. Selain itu tanah tersebut tidak dikenai pajak. Surplus hasil penjualan yang melebihi nilai pajak akan dikembalikan kepada desa. Jika terjadi kegagalan panen, maka beban tanggung jawabnya berada di tangan pemerintah.
Pada praktiknya sistem ini ternyata memberatkan. Lebih dari seperlima lahan digunakan untuk menanam tanaman ekspor. Mereka yang tidak memiliki tanah juga bekerja lebih dari 66 hari. Dalam kasus gagal panen, masyarakat dibiarkan bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
ADVERTISEMENT
Akibatnya sistem Tanam Paksa mengundang kritik pedas pada pertengahan tahun 1850-an. Salah satu yang paling vokal adalah Multatuli (nama samaran Eduard Douwes Dekker) yang menyuarakan kritikannya dalam buku Max Havelaar (1860). Meski mendapat banyak kecaman, praktik ini tidak dihapuskan sampai tahun 1870.
(ERA)