Konten dari Pengguna

Hukum Adzan Sholat Jumat Dua Kali beserta Dalilnya

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
26 Oktober 2022 11:43 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi adzan sholat Jumat. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi adzan sholat Jumat. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Jumlah adzan sholat Jumat merupakan persoalan fikih yang masih menjadi perdebatan di antara umat Muslim, baik kalangan ulama maupun awam. Sebagian aliran Islam mengumandangkan adzan Jumat hanya satu kali, namun ada pula yang mengamalkannya sebanyak dua kali.
ADVERTISEMENT
Mengutip buku Pedoman dan Tuntunan Shalat Lengkap karya Tim Gema Insani, adzan adalah panggilan bagi umat Islam untuk menunaikan ibadah sholat, khususnya sholat wajib lima waktu dan sholat Jumat.
Secara bahasa, adzan dapat diartikan sebagai seruan sekaligus pertanda masuknya waktu sholat. Adzan merupakan syiar Islam yang telah dilakukan sejak tahun pertama Rasulullah SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah. Dalam Hadist Riwayat Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda:
Apabila tiga orang mengerjakan shalat tanpa adzan dan iqamah, mereka akan dikuasai oleh setan.” (HR Ahmad)
Lantas, bagaimana dengan hukum adzan sholat Jumat sebanyak dua kali? Untuk mengetahui hal tersebut, simak penjelasan terkait adzan sholat Jumat beserta dalilnya dalam ulasan berikut ini.

Hukum Adzan Sholat Jumat Dua Kali

Ilustrasi hukum adzan sholat Jumat. Foto: Pixabay
Dalam Buku Praktis Panduan Sholat Wajib-Sunnah, Abu Sakhi menjelaskan bahwa sholat Jumat adalah ibadah yang dilakukan oleh umat Muslim setiap hari Jumat bersamaan dengan waktu sholat Zuhur. Hukum sholat Jumat bagi laki-laki adalah wajib, sedangkan untuk perempuan masuk ke dalam perkara sunnah.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar umat Muslim di Indonesia melaksanakan ibadah sholat Jumat dengan seruan adzan sebanyak dua kali. Praktik ini mengacu pada apa yang sudah dilakukan sejak masa khalifah Utsman bin Affan, tanpa ada sanggahan dari para sahabatnya.
Dirangkum dari laman resmi Nahdlatul Ulama (NU Online), pada masa Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar, dan Umar, adzan sholat Jumat hanya dilakukan sebanyak satu kali. Seiring dengan bertambahnya jumlah umat Islam, Ustman berinisiatif mengumandangkan adzan Jumat dua kali sebagaimana yang tercantum dalam hadist berikut.
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ [رواه البخاري].
ADVERTISEMENT
Artinya: Diriwayatkan dari as-Saib bin Yazid, ia berkata: "Adzan pada hari Jumat awalnya dahulu ialah apabila imam telah duduk di atas mimbar pada masa Nabi SAW, Abu Bakar dan Umar RA. Namun ketika Utsman RA (menjadi khalifah) dan orang-orang bertambah banyak, beliau menambah adzan ketiga di az-Zaurak (suatu tempat di pasar Madinah)". (HR al-Bukhari)
Adzan ketiga yang dimaksud dalam hadist di atas adalah adzan tambahan yang dilakukan sebelum khatib naik ke mimbar. Sementara itu, adzan pertama merupakan adzan yang biasa dikumandangkan setelah khatib naik ke mimbar. Adapun adzan kedua sebenarnya lebih merujuk kepada istilah iqamah, sehingga tidak terhitung ke dalam adzan utama.
Meskipun adzan dua kali tidak pernah dilakukan pada zaman sebelumnya, praktik inisiatif Utsman bin Affan ini tidak ditentang atau dibantah oleh para sahabat Rasulullah SAW. Maka dari itu, hukum adzan sholat Jumat dua kali adalah “ijma sukuti”, yaitu sudah disetujui, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Mawahib al-Ladunniyah berikut.
ADVERTISEMENT
ثُمَّ إِنَّ فِعْلَ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ إِجْمَاعاً سُكُوْتِياً لأَِنَّهُمْ لاَ يُنْكِرُوْنَهُ عَلَيْهِ
Artinya: "Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman ra. itu merupakan ijma' sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena para sahabat yang lain tidak menentang kebijakan tersebut.” (al-Mawahib al Laduniyah, juz II,: 249)
(AAA)