Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Hukum Isbal atau Memanjangkan Busana Dalam Islam
9 Februari 2021 13:09 WIB
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kajian tentang hukum isbal masih menjadi perdebatan di kalangan ulama hingga sekarang. Tidak adanya penegasan tentang boleh atau tidaknya isbal dalam Alquran dan hadis merupakan faktor utama terjadinya perbedaan pandangan.
ADVERTISEMENT
Sebelum membahasnya lebih jauh, penting untuk memahami apa yang disebut isbal. Mengutip dari jurnal Kontroversi Hadis-Hadis tentang Isbal karya Muhammad Nasir (2013), isbal berasal dari kata asbala yang artinya “melepaskan ke bawah" atau "menurunkan”. Sedangkan secara istilah isbal adalah menjulurkan pakaian ke bawah sampai melewati mata kaki hingga menyentuh tanah.
Pendapat yang banyak berkembang adalah isbal dilarang dalam ajaran Islam. Sebab perilaku ini dianggap sebagai salah satu bentuk kesombongan. Dalam sejumlah kebudayaan masyarakat pada masa itu, panjang busana dijadikan sebagai tolok ukur strata sosial seseorang.
Namun benarkah isbal benar-benar diharamkan tanpa ada pengecualian? Berikut ini adalah penjelasannya yang dikutip dari berbagai sumber.
Isbal Hukumnya Haram Mutlak
Melansir dari buku Ternyata Isbal Haram, Kata Siapa? tulisan Isnawati, ada kalangan yang beranggapan bahwa isbal hukumnya haram mutlak. Ini adalah pendapat Al-Imam Ibnu Hajar Al- Asqolani, Ibnul Arobiy, Syaikh Bin Bazz, dan Syaikh Al-Utsaimin.
ADVERTISEMENT
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari juz 10 mengatakan: “Dan hasilnya adalah bahwa isbal itu menyebabkan terseretnya pakaian. Dan menyeret pakaian itu menyebabkan sombong. Walaupun orang yang berpakaian itu tidak bermaksud demikian.”
Muhammad Nasir (2013) mengutip hadits yang secara umum dijadikan dasar hukum pelarangan isbal. “Dari Abu Jurrâ al-Hujaimî (Jâbir bin Salîm) berkata “Saya telah didatangi oleh Rasulullah, lalu saya berkata “Wahai Rasulullah, kami ini adalah kaum dari penduduk pedalaman, maka ajarilah kami sesuatu yang bermanfaat dan diberkati oleh Allah”.
Lalu Rasulullah bersabda: “Hati-hatilah kamu tehadap isbal-nya sarung (pakaian), karena sesungguhnya isbal tersebut adalah bagian dari kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan”.
Jika mengikuti pandangan dari kelompok pertama ini, maka hukum isbal adalah haram tanpa pengecualian, meskipun orang yang bersangkutan sebenarnya tidak bermaksud menyombongkan diri.
ADVERTISEMENT
Isbal Hukumnya Makruh
Makruh artinya suatu perbuatan yang apabila ditinggalkan itu lebih baik daripada mengerjakannya. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, terdapat pengecualian tentang isbal. Salah satu yang mengemukakannya adalah Imam An-Nawawi.
An-Nawawi dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim juz 14 menulis:
“Sesungguhnya isbal ada pada sarung, baju, dan imamah. Dan tidak boleh isbal sampai di bawah kedua mata kaki jika karena sombong. Namun jika bukan karena sombong maka hukumnya makruh.”
Dalam hadits Al Bukhari dijelaskan: “Dari ibn ‘Umar, Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang menjulurkan pakaianya dengan rasa sombong, maka Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat”.
Lalu Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu dari sisi sarungku selalu melorot ke bawah, kecuali saya menjaganya”.
ADVERTISEMENT
Lalu Rasulullah bersabda, “Engkau tidak termasuk dari orang yang berbuat kesombongan”.
Ini diperkuat dengan hadits lainnya. “Ada seorang lelaki yang kainnya terseret di tanah karena sombong. Allah menenggelamkannya ke dalam bumi. Dia meronta-ronta karena tersiksa di dalam bumi hingga hari Kiamat terjadi”. (HR. Bukhari, 3485)
Melalui hadits tersebut dapat dipahami bahwa balasan bagi orang-orang yang isbal adalah tidak dipandang Allah saat hari kiamat. Namun apabila orang tersebut tidak memiliki niat untuk angkuh, maka ia bukan termasuk golongan tersebut.
---
Muslim yang taat sebaiknya menyikapi perbedaan pendapat secara bijaksana. Dalam beribadah dan beraktivitas, kita sepatutnya berhati-hati agar apa yang dilakukan tidak melanggar perintah Allah SWT.
(ERA)