Hukum Nikah Siri dalam Pandangan Islam, Boleh atau Tidak?

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
Konten dari Pengguna
24 Agustus 2021 16:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi nikah siri. Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi nikah siri. Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan harmonis. Menikah harus didasari atas hukum agama dan Undang-Undang.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, terdapat pula pernikahan yang hanya didasari atas dasar agama, yakni nikah siri. Mengutip buku Nikah Siri: Menjawab Semua Pertanyaan tentang Nikah Siri oleh Yani C. Lesar, kata nikah siri berasal dari Bahasa Arab, yakni az-zawaj as-siri yang artinya pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau rahasia.
Nikah siri diakui secara agama karena telah memenuhi rukun dan syaratnya. Namun, pernikahan tersebut tidak diakui oleh negara karena tidak dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah dan tidak tercatat di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.
Akibat dari nikah siri ialah tak adanya Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Maka, pernikahan tersebut tidak dianggap sah secara hukum negara. Anak yang lahir dari pernikahan siri pun akan kesulitan dalam mengurus dokumen-dokumen administratif seperti akta kelahiran.
ADVERTISEMENT
Dalam Islam, ada berbagai macam pendapat ulama mengenai hukum nikah siri. Lantas, sebenarnya bagaimanakah hukum nikah siri? Simak penjelasan berikut.

Hukum Nikah Siri

Ilustrasi nikah siri. Foto: Unsplash
Sebelum mengetahui hukum nikah siri menurut Islam, sebaiknya dipahami dulu pengertian nikah siri itu sendiri menurut beberapa ulama. Istilah nikah siri sendiri berawal dari ucapan Umar bin Khattab ketika mengetahui terdapat pernikahan tanpa dihadiri saksi, melainkan hanya seorang pria dan wanita.
Dalam suatu riwayat masyhur, pada saat itu, Umar berkata, "Ini nikah siri, saya tidak membolehkannya, dan sekiranya saya tahu lebih dahulu, maka pasti akan saya rajam."
Sejak saat itu, ulama-ulama besar seperti Abu Hanifah, Malik, dan Syafi'i mendefinisikan nikah siri sebagai pernikahan tanpa saksi dan tidak boleh dilakukan. Lalu, dalam perkembangannya, meskipun menghadirkan saksi di mana saksi tersebut diminta agar merahasiakan pernikahan itu, Imam Malik berpendapat bahwa hukumnya tetap tidak boleh. Hal ini karena syarat mutlak sahnya pernikahan menurut Islam adalah adanya pengumuman (i'lan).
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, Abu Hanifah, Syafi'i, dan Ibnu Mundzir berbeda pendapat dengan Imam Malik. Menurut mereka, jika telah ada saksi, maka syarat pernikahan telah terpenuhi. Sebab, fungsi saksi ialah i'lan itu sendiri. Jadi, meskipun dirahasiakan, pernikahan tetap sah karena telah disaksikan oleh wali/saksi.
Dikatakan pula bahwa nikah siri dalam Islam berkaitan dengan fungsi saksi, yakni untuk mengumumkan kepada masyarakat bahwa telah terjadi pernikahan. Jumlah saksi minimal adalah satu atau dua orang laki-laki dan dua orang perempuan.
Dalam hal ini, diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda, "Pelacur adalah wanita yang mengawinkan dirinya tanpa (ada) bukti." (HR. Tirmidzi)
Dalam masyarakat Indonesia, nikah siri lebih dikenal dengan definisi pernikahan yang sah menurut agama, namun tidak sah menurut Undang-undang. Kesimpulannya, nikah siri dengan definisi tersebut hukumnya boleh, karena sah secara agama dengan adanya saksi dan diumumkan.
ADVERTISEMENT
Namun, jika nikah siri yang dimaksud adalah definisi yang berawal dari Umar bin Khattab, yakni tidak terdapat saksi dan tidak diumumkan, maka hukumnya sama seperti zinah, tidak diperbolehkan.
Meskipun demikian, nikah siri adalah sesuatu yang seharusnya dihindari. Mengutip buku Kepastian Hukum Perkawinan Siri dan Permasalahannya Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 oleh Zainuddin dan Afwan Zainuddin, nikah siri akan berdampak buruk bagi kedua pasangan, khususnya perempuan.
Jika terjadi perceraian, akan timbul masalah terkait hak asuh anak dan hak warisan atau harta gono-gini. Sebagai seorang yang tidak hanya beragama, namun juga bernegara, sudah sepatutnya mengikuti peraturan Undang-undang agar tak mendapat masalah di kemudian hari.
(AFM)