Hukum Talqin Mayit atau Mengingatkan Jenazah yang Telah Dikubur

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
Konten dari Pengguna
24 Februari 2021 19:10 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pemakaman jenazah. Foto: Adi Pratama/ ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemakaman jenazah. Foto: Adi Pratama/ ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Talqin secara bahasa artinya mengajarkan atau memberi pemahaman sesuatu kepada orang lain secara lisan, kemudian diikuti oleh orang yang diajarkan. Dalam Fiqh Tradisionalis tulisan Muhyiddin Abdusshomad (2004: 209-210), secara istilah talqin adalah mengingatkan kembali sesuatu kepada orang yang sedang sakaratul maut atau kepada orang yang baru saja dikubur dengan kalimat tertentu.
ADVERTISEMENT
Umat Muslim dianjurkan untuk melakukan talqin kepada orang yang sedang sakaratul maut dengan menyebut laa ilaha illallah. Dengan demikian orang yang sedang menemui ajal tersebut mengingat Allah dan meniru ucapannya.
Rasulullah SAW bersabda: “Tuntunlah orang yang meninggal di antara kamu dengan mengucapkan lā ’ilāha ’illā allāh”. Sebab barangsiapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah lā ’ilāha ’illā allāh, maka dia akan masuk surga” (HR. Abu Daud. Dikatakan sahih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 1621).
Lantas bagaimana dengan hukum talqin mayit yang telah selesai dimakamkan? Terdapat tiga pendapat berbeda mengenai hukum talqin kepada mayit, yaitu sunnah, mubah, dan makruh. Berikut ini adalah penjelasannya:

Sunnah

Ilustrasi makam. Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
Para ulama mazhab Syafi’i menganjurkan terkait talqin mayit. Mengutip dari Talqin Mayit Menurut Pandangan KH. Muhammad Murtadlo At-Ṭubany dalam Naskah Majmu’at Tashtamilu ‘ala ’arbai Rasa’il tulisan Ainul Murtadho (2019: 71), Imam An-Nawawi mengatakan:
ADVERTISEMENT
“Para ulama mazhab Syafii menganjurkan talqin mayat setelah dikuburkan, ada seseorang yang duduk di sisi kubur bagian kepala dan berkata: “Wahai fulan bin fulan, wahai hamba Allah anak dari hamba Allah, ingatlah perjanjian yang engkau keluar dari dunia dengannya, kesaksian tiada tuhan selain Allah, hanya Dia saja, tiada sekutu baginya, sesungguhnya Muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya, sesungguhnya surga itu benar, sesungguhnya neraka itu benar, sesungguhnya hari berbangkit itu benar, sesungguhnya hari kiamat itu akan datang, tiada keraguan baginya, sesungguhnya Allah membangkitkan orang yang di kubur, sesungguhnya engkau ridha Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai nabi, Alquran sebagai imam, Ka’bah sebagai kiblat, orang-orang beriman sebagai saudara”.
Salah satu dalil yang menjadi dasar adalah surat Adz-Zariyat ayat 55 yang artinya: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (Qs. Adz-Zariyat: 55).
ADVERTISEMENT
Masih mengutip sumber yang sama, ayat tersebut tidak mengkhususkan pada umat Islam yang masih hidup saja. Sebab mayit bisa mendengar perkataan orang yang mentalqin. Talqin ini bertujuan untuk mengingatkan mayit kepada Allah SWT agar bisa menjawab pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir.

Mubah

Ilustrasi pemakaman. Foto: Nabilla Fatiara/kumparan
Ada yang mengatakan bahwa mentalqin mayit setelah dikubur hukumnya mubah atau boleh. Salah satu ulama yang membolehkannya adalah Syekh Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata:
“Mentalqin mayit setelah kematiannya itu tidak wajib, berdasarkan ijma’, juga tidak termasuk perbuatan yang masyhur di kalangan umat Islam pada masa Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para khalifahnya. Tetapi hal itu diceritakan dari sebagian sahabat, seperti Abi Umamah dan Watsilah bin Al-Asqa’. Karenanya, sebagian ulama membolehkannya, seperti imam Ahmad. Sebagian sahabat (murid) imam Ahmad, dan sahabat-sahabat imam Syafi’i mensunnahkannya. Sebagian ulama menghukuminya makruh, karena meyakininya sebagai bid’ah. Dengan demikian, ada tiga pendapat dalam hal ini; sunnah, makruh, dan mubah. Dan pendapat yang terakhir (mubah) merupakan pendapat yang paling adil” (Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Al-Fatawa Al-Kubra, juz 3).
ADVERTISEMENT

Makruh

Sebagian ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa mentalqin mayit hukumnya makruh. Makruh artinya perbuatan yang dirasakan jika meninggalkannya itu lebih baik daripada mengerjakannya.
Syekh Abdul Wahab Al-Baghdadi Al-Maliki berkata “Begitu pula dimakruhkan, menurut imam Malik, mentalqin mayit setelah diletakkan di dalam kubur”.