Hukum Tidak Berhubungan Suami Istri Selama 3 Bulan, Apakah Boleh?

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
Konten dari Pengguna
29 Maret 2022 10:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi berhubungan suami istri. Foto: pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi berhubungan suami istri. Foto: pexels
ADVERTISEMENT
Keharmonisan menjadi kunci utama bagi keberhasilan hubungan rumah tangga. Tiap pasangan hendaknya menjalin kemesraan satu sama lain, salah satunya dengan cara melakukan hubungan intim (jima’).
ADVERTISEMENT
Dalam Islam, jima’ merupakan bentuk ibadah yang bernilai pahala. Dalam hadits riwayat Muslim para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW: "Wahai Rasulullah, apakah jika salah seorang dari kami mendatangi syahwatnya (berhubungan suami istri) maka mendapat pahala?".
Rasulullah SAW menjawab: "Apa pendapat kalian seandainya dia melampiaskan syahwatnya pada yang haram, bukankah dia mendapatkan dosa. Maka demikian pula jika dia melampiaskan syahwatnya pada yang halal, maka dia memperoleh pahala".
Oleh sebab itu, umat Muslim dianjurkan untuk berjima’ dengan pasangan halalnya. Bahkan, para ulama menganjurkan pasangan suami-istri untuk menjalin kemesraan dan keharmonisan melalui cara ini.
Namun, terkadang pertengkaran membuat pasangan suami-istri tidak melakukan hubungan badan dalam waktu yang sangat lama. Apa hukum tidak berhubungan suami istri selama 3 bulan? Untuk mengetahuinya, simaklah penjelasan berikut.
ADVERTISEMENT

Hukum Tidak Berhubungan Suami Istri Selama 3 Bulan

Ilustrasi berhubungan suami istri. Foto: pexels
Para ulama masih berbeda pendapat tentang hukum tidak berhubungan suami istri selama 3 bulan. Namun, mayoritasnya mengatakan bahwa hal ini tidak dibenarkan dalam Islam.
Sebab, hubungan suami istri sama saja seperti nafkah batin yang harus selalu ditunaikan. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 222 yang artinya:
“Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa suami dan istri tidak boleh saling mendiami satu sama lain. Dikutip dari buku Fikih Keluarga Terlengkap karya Rizen Aizid, suami tidak boleh mendiamkan istri lebih dari tiga hari.
ADVERTISEMENT
Khusus untuk jima’, para ulama membolehkannya sampai batas satu bulan saja. Namun dengan syarat sang istri durhaka atau melakukan kesalahan besar terhadap suaminya (nusyuz).
Ilustrasi berhubungan suami istri. Foto: pexeles
Berbeda dengan pendapat tadi, Imam Syafii justru menetapkan batas maksimalnya selama empat bulan. Pendapat tersebut merujuk pada ketetapan yang dibuat oleh Amirul Mukminin, Umar bin Khattab.
Pada masa itu, banyak laki-laki Muslim yang pergi berperang meninggalkan istri mereka. Kemudian, para istri pun merasa sedih dan kesepian.
Melihat kondisi tersebut, Umar pun berdiskusi dengan Hafsoh. Ia kemudian membuat kebijakan yang berisi, semua prajurit yang sudah bertugas selama empat bulan di medan perang harus pulang untuk memberikan nafkah kepada istrinya atau menceraikannya.
Nafkah yang dimaksud meliputi nafkah lahir maupun batin. Ketentuan tersebut telah termuat dalam kitab al-Umm karangan Imam As-syafii.
ADVERTISEMENT
Melihat pandangan Imam As-Syafii ini, maka dapat disimpulkan bahwa Islam memberikan pengecualian. Tidak berhubungan suami istri dalam waktu yang lama diperbolehkan asal didasari dengan alasan syar'i seperti pergi berperang, bekerja, dan lain-lain.
Sementara dari sudut pandang lain, Islam melarang istri menolak ajakan suaminya untuk melakukan hubungan badan. Ini menjadi kewajiban yang harus ditunaikannya sebagai pasangan halal.
Ilustrasi berhubungan suami istri. Foto: pexeles
Seorang istri harus menyadari betul bahwasanya tidak ada yang lebih menyakitkan bagi suami melebihi penolakan istri untuk 'berhubungan' dengannya. Sebagaimana terungkap melalui data statistik, faktor inilah yang menjadi penyebab terjadinya perceraian dan kehancuran rumah tangga.
Oleh karena itu, seorang istri harus senantiasa membahagiakan suami serta mengimbangi kebutuhan biologisnya. Menurut Majdi Muhammad dalam buku Kado Pengantin (2005), seorang istri harus berperan aktif dalam hubungan seksual.
ADVERTISEMENT
(MSD)