Konten dari Pengguna

Kisah Kartini dalam Memperjuangkan Emansipasi Wanita

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
20 April 2020 13:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ibu Kartini. Foto: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ibu Kartini. Foto: Freepik
ADVERTISEMENT
Meski tidak pernah mengangkat senjata dalam melawan Belanda, namun Kartini tetap menjadi sosok pahlawan bagi Indonesia. Melalui pemikirannya, beliau mampu mengangkat derajat wanita setara dengan kaum pria.
ADVERTISEMENT
Kala itu, kasta sosial menunjukkan bahwa wanita harus berada di bawah pria. Selain itu, wanita juga tidak memiliki hak untuk mendapatkan kebebasan dalam hal pendidikan bahkan memilih pasangan hidupnya. Ibaratnya, semua perilaku wanita sudah diatur sedemikian rupa dan tidak boleh dilanggar.
Namun, Kartini memiliki pemikiran yang berbeda. Beliau merasa bahwa wanita juga memiliki hak yang sama dengan para pria. Itulah yang mendasari keinginanan Kartini untuk memajukan wanita bangsa Indonesia saat itu.
Lalu bagaimana prosesnya hingga Kartini bisa merealisasikan cita-cita mulianya? Simak kisahnya dibawah ini.

Kisah Kartini

Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau biasa dikenal dengan nama R.A Kartini merupakan putri dari pasangan R.M. Sosroningrat dan M.A Ngasirah. Ayahnya seorang bangsawan yang juga menjabat sebagai Bupati Jepara. Sementara ibunya merupakan anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Kota Jepara.
ADVERTISEMENT
Ibunda Kartini bukan keturunan bangsawan, melainkan rakyat biasa. Hal itu tentunya menjadi masalah bagi keluarga Kartini. Sebab pada zaman itu, peraturan kolonial Belanda mengharuskan seorang bupati menikah dengan bangsawan.
Alasan tersebut akhirnya membuat ayahnya harus mempersunting seorang wanita lain yang bernama Raden Adjeng Woerjan. Beliau seorang bangsawan keturunan langsung dari Raja Madura kala itu.
Di era itu, wanita-wanita di negeri ini belum bisa memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Para wanita belum diizinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria, bahkan mereka juga tidak bisa menentukan pasangannya sendiri.
Kartini sendiri hanya diizinkan sekolah sampai tamat E.L.S. (Europese Lagere School) atau setara dengan sekolah dasar. Setelah tamat sekolah, Kartini harus menjalani masa pingitan hingga saatnya tiba untuk menikah. Ini merupakan adat-istiadat yang berlaku di Jepara di saat itu.
ADVERTISEMENT
Saat remaja, Kartini banyak bergaul dengan orang terpelajar serta aktif dalam melakukan surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda. Tak hanya itu, beliau juga gemar membaca surat kabar atau majalah kebudayaan Eropa dan buku-buku, khususnya buku tentang kemajuan wanita.
Ketertarikannya dalam membaca, akhirnya membuat Kartini memiliki wawasan yang cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Dari sinilah, Kartini mulai menyadari bahwa wanita sebangsanya sangat tertinggal jika dibandingkan dengan bangsa lain, terutama Eropa.
Sejak saat itu, beliau mulai memberikan perhatian khusus pada masalah emansipasi wanita dengan membandingkan antara wanita Eropa dan pribumi. Selain itu, Kartini juga menaruh perhatian pada masalah sosial. Menurutnya, seorang wanita juga perlu memperoleh hak yang sama dengan pria perihal kebebasan, otonomi dan juga kesetaraan hukum.
ADVERTISEMENT

Perjuangan Kartini

Kondisi tersebut akhirnya membuat Kartini bertekad untuk memajukan wanita bangsa Indonesia. Beliau mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk wanita di Jepara. Sekolah tersebut mengajarkan cara menjahit, menyulam, memasak dan lainnya.
Bahkan untuk mewujudkan keinginannya dalam memajukan wanita Indonesia, Kartini berencana melanjutkan pendidikan di Batavia atau negeri Belanda. Namun, keinginan tersebut ditolak oleh orangtuanya, meski pemerintah Belanda telah memberikan beasiswa kepada Kartini.
Dalam mencegah kepergiannya, orangtua Kartini memaksanya untuk menikah dengan seorang Bupati di Rembang bernama Raden Adipati Joyodiningrat. Beruntungnya, suami Kartini bisa memahami cita-cita mulianya. Suaminya memberi kebebasan untuk Kartini mendirikan sekolah wanita pertama di sebelah kantor Pemerintahan Kabupaten Rembang.
Mirisnya, hidup Kartini harus berakhir di usianya yang sangat muda, yakni 25 tahun. Beliau meninggal setelah beberapa hari melahirkan anak pertamanya yang bernama Soesalit Djojoadhiningrat.
ADVERTISEMENT
Sepeninggal Kartini, keluarga van Deventer tokoh politik Etis di era kolonial Belanda mendirikan Yayasan Kartini dan membangun Sekolah Wanita. Sekolah wanita ini pertama didirikan di Semarang, lalu meluas ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Untuk mengenang jasa Kartini, sekolah tersebut pun diberi nama “Sekolah Kartini”.

Habis Gelap Terbitlah Terang

Buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Foto: Tokopedia
Tak hanya itu, surat-surat yang pernah ditulis oleh Kartini saat ia aktif melakukan korespodensi dengan teman-temannya juga dikumpulkan oleh J.H. Abendanon. Beliau merupakan Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda.
Dari kumpulan surat tersebut diketahui bahwa Kartini selama ini sering mencurahkan banyak keluhan mengenai kondisi wanita pribumi. Bagaimana kebudayaan Jawa begitu menghambat kemajuan wanita pribumi kala itu seperti tidak bisa menuntut ilmu, kewajiban untuk melakukan masa pingitan serta adanya adat yang mengekang kebebasan wanita. Beliau juga mengungkapkan banyak kendala yang dihadapi dalam memajukan wanita pribumi, khususnya di wilayah Jawa.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Kartini juga menulis tentang makna ketuhanan, kebijaksanaan dan keindahan, peri kemanusiaan dan juga nasionalisme. Pemikiran-pemikiran Kartini mengenai emansipasi wanita atau persamaan hak wanita pribumi dianggap sebagai hal baru yang bisa merubah pandangan masyarakat.
Kumpulan tulisan tersebut akhirnya disusun menjadi sebuah buku yang berjudul "Door Duisternis tot Licht". Kemudian judulnya diterjemahkan menjadi "Dari Kegelapan Menuju Cahaya" yang terbit pada tahun 1911.
Tulisan tersebut berhasil mengubah pola pikir masyarakat terutama kaum Belanda terhadap wanita pribumi. Selain itu, tulisannya juga menjadi inspirasi bagi para tokoh Indonesia seperti W.R Soepratman. Pemikiran Kartini dalam memajukan bangsa Indonesia, membuat Soepratman berinisiatif menciptakan lagu “Ibu Kita Kartini” sebagai salah satu penghargan atas perjuangan yang telah beliau lakukan.
ADVERTISEMENT
Presiden Soekarno juga mengeluarkan instruksi berupa Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964. Isinya mengenai penetapan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan juga menetapkan hari lahir Kartini yakni 21 April diperingati sebaai Hari Kartini hingga saat ini.
Berkat perjuangan Kartini, kini wanita Indonesia jadi memiliki kebebasan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Selain itu, wanita juga mendapatkan kesetaraan hak dengan pria dalam hal otonom dan kesetaraan hukum.
Sayangnya, perjuangan Kartini tampaknya belum benar-benar berakhir. Pasalnya di era ini, masih ada sebagian wanita yang merasakan penindasan dan diperlakukan tidak adil.
Ini terjadi karena sebagian pria belum rela melepas sifat otoriternya. Selain itu, beberapa wanita juga masih belum berani melawan kebiasaan lama.
ADVERTISEMENT
(RAA)