Kisah Khalid bin Walid, Sahabat Nabi yang Dijuluki Sang Pedang Allah

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
Konten dari Pengguna
2 Februari 2021 13:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Khalid bin Walid, Sahabat Nabi. Foto: alarabiya.net
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Khalid bin Walid, Sahabat Nabi. Foto: alarabiya.net
ADVERTISEMENT
Khalid bin Walid merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang selalu menyertainya dalam misi menyebarkan agama Islam. Ia juga termasuk kerabat Nabi yang paling dekat. Bibinya, Maemunah binti Al Harits merupakan istri Rasulullah SAW.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia kemiliteran, Khalid bin Walid menjadi sosok yang tidak tertandingi. Ia adalah satu-satunya sahabat yang dianugerahi gelar “Saifullah” atau Pedang Allah oleh sang Nabi.
Sebagai umat Islam, kita diperintahkan untuk mempelajari dan menghayati kisah umat terdahulu, termasuk hikayat tentang para sahabat rasul. Berikut ini adalah kisah Khalid bin Walid yang dapat dijadikan suri tauladan.

Khalid bin Walid, Mantan Panglima Perang Quraisy

Ilustrasi panglima perang. Foto: Pinterest
Khalid lahir dari salah satu keluarga terpandang di antara kaum Quraisy. Ayahnya, Walid bin Mughirah adalah petinggi di kalangan Bani Makhzum. Ia membiayai dan memberi makan jamaah haji di Mina hingga mendapat julukan Raihanah Quraisy atau rezeki kaum Quraisy.
Sayangnya ia termasuk golongan yang kerap mengolok-olok Nabi Muhammad dan ajaran Islam. Khalid bin Walid sendiri merupakan panglima perang kaum kafir Quraisy yang ditakuti karena keahliannya. Ia juga terampil mengendarai kuda.
ADVERTISEMENT
Ia berada di pihak kaum Quraisy ketika bertempur di Perang Uhud dan Khandaq. Ialah aktor di balik kekalahan kaum muslimin di Perang Uhud.
Kala itu Khalid melihat celah kelemahan pasukan Muslimin yang lengah karena bernafsu mengambil rampasan perang hingga turun dari Bukit Uhud. Pasukan Quraisy langsung menghajar pasukan Muslim sehingga mereka dapat memenangkan perang.

Masuk Islam

Siapa sangka, peperangan dengan kaum Muslim justru membuka hati Khalid bin Walid. Melansir dari Kitab Al-Maghzi Muhammad karya Al-Waqidi, Khalid mengatakan bahwa Allah memberinya hidayah.
“Aku telah menyaksikan tiga perang, yang semuanya melawan Muhammad. Di setiap pertempuran yang kusaksikan, aku pulang dengan perasaan bahwa aku berada di sisi yang salah, dan bahwa Muhammad pasti akan menang,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Hatinya makin tersentuh setelah menerima surat dari saudaranya yang terlebih dulu masuk Islam, yaitu Walid bin Al Walid. Ia mengingatkan Khalid bahwa banyak kesempatan baik yang terlewat olehnya. Pada akhirnya Khalid memutuskan untuk memeluk Islam.

Khalid bin Walid, Sang Pedang Allah

Ilustrasi Perang. Foto: Islam Knowledge Library
Perang pertama yang diikutinya sebagai muslim adalah perang Mu’tah. Sejak saat itu ia sering berperang bersama Rasulullah untuk membela Islam.
Setelah menaklukkan Kota Makkah, Rasulullah juga mengutusnya untuk menghancurkan berhala Uzza. Berkat keahliannya di medan perang, Nabi Muhammad SAW memberi julukan Pedang Allah kepada Khalid.
Dalam banyak kesempatan, Khalid diangkat sebagai panglima perang. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, ia memimpin 46.000 pasukan Islam untuk menghadapi tentara Byzantium yang jumlahnya 240.000. Meski kalah jumlah, ia tidak gentar. Bahkan mereka berhasil memukul mundur tentara Romawi dan menaklukkan wilayah itu.
ADVERTISEMENT

Ingin Syahid di Medan Perang

Khalid bin Walid wafat pada tahun 642 Masehi. Dikutip dari buku Khalid bin Al Walid karya Hakim, sebelum wafat Khalid menyampaikan kerisauan hatinya karena akan menemui ajal di tempat tidurnya. Padahal ia mendambakan untuk syahid di medang perang.
Ia berkata, “Aku telah berjuang dalam banyak pertempuran demi mencari kematian secara syahid. Tidak ada tempat di anggota tubuhku ini melainkan terdapat bekas luka tebasan pedang. Meski demikian, inilah aku sekarang, aku akan mati di tempat tidur layaknya seekor unta tua.”
(ERA)