Kisah Pahlawan Revolusi yang Gugur dalam Peristiwa G30S/PKI

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
Konten dari Pengguna
30 September 2020 16:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, tempat bersejarah dalam peristiwa G30S/PKI. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, tempat bersejarah dalam peristiwa G30S/PKI. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Tragedi kelam G30S/PKI yang bertujuan untuk mengubah Indonesia menjadi negara komunis telah menewaskan putera terbaik bangsa. Total ada sembilan prajurit TNI dan seorang polisi menjadi korban dalam peristiwa berdarah tersebut.
ADVERTISEMENT
Meski PKI berhasil menyingkirkan para perwira militer yang dianggap sebagai, fakta yang terjadi setelah itu tak sesuai rencana mereka. Operasi tersebut dapat digagalkan dengan cepat. Pentolan-pentolan PKI yang diduga menjadi dalang di balik G30S/PKI kemudian ditangkap.
Melalui Keppres No. 111/KOTI/1965, pada 5 Oktober 1965 tujuh orang yang tewas dalam pemberontakan PKI di Jakarta pun mendapat gelar Pahlawan Revolusi. Sedangkan Brigjen Katamso dan Kolonel Sugiono yang terbunuh di Yogyakarta mendapat gelar tersebut melalui Keppres No. 118/KOTI/1965 pada 19 Oktober 1965.
Untuk mengenang para Pahlawan Revolusi, berikut adalah kisah mereka:

Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani

Jenderal Ahmad Yani. Foto: WIkipedia
Jenderal Ahmad Yani yang lahir di Purworejo pada 19 Juni 1922 memulai karier militernya usai mengikuti wajib militer di Malang dan kemudian bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA). Setelah kemerdekaan, ia bergabung dengan tentara republik.
ADVERTISEMENT
Beliau terlibat dalam operasi penumpasan DI/TII, Operasi Trikora di Papua Barat, dan Operasi Dwikora saat konfrontasi dengan Malaysia. Pada 1 Oktober 1965, Ahmad Yani ditembak di rumahnya oleh Pasukan Cakrabirawa. Jasadnya kemudian dibuang ke sumur di daerah Lubang Buaya.

Mayjen Raden Suprapto

Mayjen Raden Suprapto. Foto: WIkipedia
Mayjen Suprapto merupakan salah satu petinggi militer yang pemikirannya berseberangan dengan D.N Aidit, pentolan PKI. Dikutip dari laman Sejarah TNI, pada 1 Oktober 1965, Pasukan Cakrabirawa mendatangi rumah Mayjen Suprapto dan mengatakan bahwa ia harus menghadap Soekarno.
Mayjen Suprapto meminta izin untuk berganti pakaian, namun permintaan tersebut tidak dikabulkan. Dengan ditodong senjata, Mayjen Suprapto dibawa ke Lubang Buaya. Beliau disiksa dengan keadaan tubuh terikat lalu dibuang ke sumur.
ADVERTISEMENT

Mayjen TNI Siswondo Parman

Siswondo Parman. Foto: Wikipedia
Mayjen S.Parman sebenarnya pernah ditawari untuk bergabung dengan PKI, namun ajakan tersebut ditolak karena tidak mau mendukung paham komunis. Kakak S.Parman, yakni Ir Sakirman merupakan salah satu petinggi PKI.
John Roosa dalam buku Dalih Pembunuhan Massal menulis bahwa pada pertengahan 1965, Mayjen S.Parman mengatakan pada seorang perwira Amerika Serikat bahwa ia telah menyusupi PKI dan mengetahui berbagai keputusan mereka. Mayjen S. Parman menjadi salah satu korban peristiwa G30S PKI.

Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono

M.T. Haryono. Foto: WIkipedia
M.T Haryono fasih berbahasa Belanda, Inggris, dan Jerman. Pada Konferensi Meja Bunda (KMB), ia ditunjuk sebagai Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.
M.T Haryono diberondong peluru saat mencoba melawan Pasukan Cakrabirawa. Sebelum diseret ke mobil, ia diduga telah tewas. Istri M.T Haryono pergi ke rumah Ahmad Yani dan S. Parman untuk melaporkan kejadian tersebut, namun peristiwa serupa ternyata juga terjadi pada mereka.
ADVERTISEMENT

Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan

D.I Panjaitan. Foto: Wikipedia
Melalui buku D.I Pandjaitan: Pahlawan Revolusi Gugur Dalam Seragam Kebesaran, diketahui bahwa saat pasukan penculik mendatangi rumah D.I Panjaitan, salah seorang di antara mereka menyuruh sang jenderal untuk turun dari lantai dua.
Ia terpaksa menemui pasukan tersebut demi keselamatan keluarganya. D.I Pandjaitan sempat berdoa, namun kepalanya dipukul dan tubuhnya ditembaki sebelum dibawa ke Lubang Buaya.

Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo

Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo. Foto: WIkipedia
Brigjen Sutoyo yang lahir di Kebumen pada 28 Agustus 1922 memulai karier militer dengan menjadi ajudan Kolonel Gatot Soebroto. Beliau kemudian dipercaya menjadi jaksa militer utama. Pada 1 Oktober 1965, pasukan penculik mengatakan kepada Sutoyo bahwa ia diminta untuk menghadap Presiden. Saat di truk, tubuhnya diikat dan matanya ditutup.
ADVERTISEMENT

Lettu CZI Pierre Andreas Tendean

Pierre Andreas Tendean. Foto: wikipedia
Pierre Tendean merupakan ajudan Jenderal A.H Nasution yang berdarah Manado-Perancis. Dikutip dari Pierre Tendean yang ditulis oleh Masykuri, saat Pasukan Cakrabirawa berniat menculik Jenderal Nasution, Pierre Tendean terbangun.
Karena kondisi saat itu gelap, pasukan penculik mengira Pierre Tendean adalah Jenderal Nasution. Ia pun dibawa ke Lubang Buaya. Ia ditembak mati dan dimasukkan dalam sumur bersama para petinggi militer lainnya.

AIPDA Karel Satsuit Tubun

Karel Satsuit Tubun. Foto: Wikipedia
Beliau adalah polisi yang menjaga rumah Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena yang berdekatan dengan kediaman Jenderal Nasution. Berdasarkan kutipan Abdul Haris Nasution dalam buku Memenuhi Panggilan Tugas: Jilid 6 Masa Kebangkitan Orde Baru, pasukan yang hendak menculik Jenderal Nasution berusaha merebut senjata AIPDA Karel. Ia kemudian ditembak.
ADVERTISEMENT

Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo

Jenderal Katamso. Foto: wikipedia
Dalam buku Peristiwa Pemberontakan G30S/PKI 1965 di Yogyakarta dan Sekitarnya terbitan Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta 30 September 1965, sejumlah tentara berkumpul untuk membahas rencana pembunuhan Kolonel Katamso.
Esok harinya, beliau diculik. Salah seorang pemberontak yang juga anggota militer memukul kepala Katamso dengan kunci montir seberat 2 kilogram. Beliau gugur pada 2 Oktober 1965.

Kolonel Sugiono

Kolonel Sugiono. Foto: wikipedia
John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal menulis bahwa Sugiono ditangkap ketika para pemberontak menggerebek rumah Kolonel Katamso. Kolonel Sugiono yang saat itu berada di rumah yang sama turut menjadi korban pembunuhan.
(ERA)