Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kisah Perjalanan Dakwah Sunan Bayat, Anggota Wali Songo Kesembilan
8 Maret 2023 11:00 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sunan Bayat adalah sebutan untuk Ki Ageng Pandanaran. Beliau adalah salah satu tokoh penyebar agama Islam di pulau Jawa atau yang dikenal dengan julukan Wali Songo.
ADVERTISEMENT
Gagas Ulung dalam buku Wisata Ziarah menyebut Sunan Bayat memiliki hubungan kerabat dekat dengan Sunan Gresik, wali pertama yang menyebarkan Islam di Jawa . Beliau merupakan murid dari Sunan Kalijaga.
Seperti apa perjalanan dakwah Sunan Bayat? Berikut informasi lengkapnya yang telah dirangkum dari berbagai sumber.
Profil Singkat Sunan Bayat
Sunan Bayat adalah putra sulung dari Ki Ageng Pandanarang I. Retno Kartini Savitaningrum Imansyah dalam jurnal Lektur Keagamaan menyebut, Sunan Bayat merupakan mantan Bupati Semarang.
Jabatan itu diembannya setelah sang ayah meninggal dunia pada 1418 Saka atau 1496 Masehi. Tokoh yang memiliki nama kecil Raden Kaji ini kemudian menjadi Adipati Semarang dan diberi gelar Abiseka Adipati Mangkubumi.
Setelah menduduki jabatan tersebut selama 16 tahun, pada 1512 Masehi, beliau memutuskan untuk berguru kepada Sunan Kalijaga. Posisi Adipati Semarang pun diserahkan kepada adiknya, Raden Ketib.
ADVERTISEMENT
Setelah bertemu dengan Sunan Kalijaga, beliau mulai mendalami ilmu agama. Setelah mendapat ilmu yang cukup, beliau kemudian diberi julukan Sunan Bayat oleh Sunan Kalijaga dan ditunjuk sebagai wali kesembilan dalam Wali Songo untuk menggantikan Syekh Siti Jenar.
Perjalanan Dakwah Sunan Bayat
Perjalanan dakwah Ki Ageng Pandanaran dimulai sejak beliau menetap di Bayat atau Tembayat, Klaten. Adapun wilayah sebarannya, mulai dari Semarang, Salatiga, Boyolali, Mojonsongo, Sela Gringging, hingga Wedi di Bayat.
Gagas Ulung dalam buku Wisata Ziarah menyebutkan, perjuangan dakwah itu berlangsung saat kawasan-kawasan tersebut masih didominasi oleh pertapa dan Pendeta Hindu. Beliau menyebarkan agama Islam dengan menjalin interaksi sosial dan kangsuh kaweruh.
Kangsuh kaweruh adalah istilah yang digunakan untuk bertukar pendapat dan pikiran dalam kebatinan dan kepercayaan. Dengan cara itulah, beberapa masyarakat mulai masuk Islam secara sukarela atau tanpa paksaan.
ADVERTISEMENT
Sementara menurut Retno dalam jurnalnya, tugas mengislamkan wilayah Bayat dan sekitarnya itu diperoleh Sunan Bayat dari gurunya, Sunan Kalijaga. Adapun cara yang dianjurkan yaitu lewat akulturasi dengan budaya setempat.
Sunan Kalijaga kemudian menitipkan masjid kecil di bukit Jabalkat kepada Sunan Bayat. Masjid itu kini dikenal dengan nama Masjid Gala.
Dengan bekal ilmu dan peninggalan yang dititipkan dari sang guru, Sunan Bayat melakukan perjalanan dakwahnya secara bertahap dan sangat sabar. Ia mulai dengan mengislamkan tokoh masyarakat tradisional setempat dengan cara menang adu kesaktian.
Berangkat dari sanalah jumlah pengikut Islam terus bertambah. Jumlah masyarakat yang berguru ke Sunan Bayat di Masjid Gala pun ikut bertambah.
Hal itu kemudian membuat Sunan Bayat meminta muridnya memindahkan Masjid Gala ke kaki bukit Jabalkat. Selain lebih besar, alasan pemindahan itu agar lebih mudah dijangkau dan terdapat persediaan air yang cukup.
ADVERTISEMENT
Berbagai macam ilmu agama diajarkan Sunan Bayat di masjid tersebut. Mulai dari membaca Al-Quran, mengaji ilmu ushuluddin, fikih, dan tasawuf.
Mengutip laman Kebudayaan Kemendikbud, setelah meninggal dunia, Sunan Bayat dimakamkan di Komplek Makam Tembayat. Lokasinya ada di bukit Jabalkat yang berada di Desa Paseban, Bayat, Klaten, Jawa Tengah.
Komplek makam itu hingga kini dikenal sebagai salah satu destinasi wisata religi di Klaten. Pengunjungnya bukan hanya dari wilayah Jawa Tengah, tapi juga berbagai daerah lainnya di Indonesia.
(NSA)