Mengenal Catur Brata Penyepian, Empat Pantangan yang Wajib Ditaati Umat Hindu

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
Konten dari Pengguna
21 Juli 2021 10:16 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Umat Hindu bersembahyangdi Pura Aditya Jaya, Rawamangun, Jakarta, Sabtu (13/3).  Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Umat Hindu bersembahyangdi Pura Aditya Jaya, Rawamangun, Jakarta, Sabtu (13/3). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Catur Brata Penyepian merupakan bagian dari rangkaian Hari Raya Nyepi. Ritual ini mengandung empat pantangan yang wajib dipatuhi oleh seluruh umat Hindu ketika perayaan Nyepi.
ADVERTISEMENT
Mengutip buku 150++ Tradisi Hari Raya di Dunia yang ditulis oleh Redaksi Plus, Nyepi merupakan hari raya umat Hindu yang diperingati setiap Tahun Baru Saka. Pada peringatan ini, seluruh umat Hindu di Bali dan India biasanya merenungkan diri untuk kembali menjadi manusia yang bersih dan suci lahir batin.
Di sisi lain, Hari Raya Nyepi juga digelar untuk menjaga keseimbangan bhuana agung dan bhuana alit atau titik pertemuan sifat negatif serta positif. Peringatan ini berlangsung dari jam 6 pagi hingga 24 jam kemudian atau jam 6 pagi keesokan harinya.
Lantas, apa itu Catur Brata Penyepian? Untuk mengetahui jawabannya, simak penjelasan berikut ini.
Ilustrasi Masyarakat Bali Catur Brata Penyepian Foto: Shutter Stock

Pengertian Catur Brata Penyepian

Menurut Dr. I Wayan Suwena, M. Hum. dalam Fungsi dan Makna Ritual Nyepi di Bali (2017), Catur Brata Penyepian adalah pantangan pada Hari Raya Nyepi yang berupaya membangun konsentrasi dengan tenang agar seseorang kembali kepada jati diri mereka.
ADVERTISEMENT
Catur Brata Penyepian ditempuh dengan cara meditasi, shamadi, dan perenungan diri sendiri di suasana yang hening. Biasanya, pantangan ini dilaksanakan selama 24 jam, tepatnya sehari usai Tilem Sasih Kasanga atau pada paruh terang pertama masa kesepuluh (pananggal sasih kadasa).
Berikut empat pantangan Catur Brata Penyepian:
1. Amati Geni
Geni dalam bahasa Bali mengandung makna api. Dengan kata lain, amati geni artinya tidak menyalakan api atau lampu dan tidak boleh mengobarkan hawa nafsu.
2. Amati Karya
Dalam bahasa Indonesia, karya berarti kerja. Sementara itu amati karya adalah tidak melakukan kerja atau kegiatan fisik dan tidak bersetubuh, melainkan tekun mengerjakan penyucian rohani.
3. Amati Lelungan
Amati lelungan artinya tidak bepergian kemana-mana, namun senantiasa mawas diri di rumah dan memusatkan pikiran ke hadapan Tuhan dalam berbagai prabawa-Nya (perwujudan-Nya).
ADVERTISEMENT
4. Amati Lelanguan
Amati lelanguan mengacu pada larangan mengadakan hiburan, rekreasi, atau kegiatan bersenang-senang. Ini termasuk tidak makan dan tidak minum.
Keempat pantangan ini membuat suasana Bali menjadi sunyi senyap dan gelap gulita pada malam hari di Hari Raya Nyepi. Tidak ada orang yang berlalu lalang, semuanya tinggal di rumah masing-masing hingga menjelang matahari terbit esok harinya, tepatnya pada hari Ngembak Geni.
Ilustrasi Upacara Melasti catur brata penyepian Foto: REUTERS/Agung Parameswara

Apa Itu Ngembak Geni?

Mengutip Upacara Ritual Tradisi Catur Brata dan Ngembak Geni di Desa Bangsoan Kecamatan Kayen Kidul tulisan Yusnita Yuwana Purbosari (2018), Ngembak Geni merupakan penanda berakhirnya Catur Brata Penyepian.
Ngembak Geni juga menjadi momen di mana umat Hindu memohon kepada Sang Hyang Widi untuk mendapatkan keteguhan hati serta kesucian selama kurun waktu satu tahun sekaligus saling memaafkan pada sesama agar mendapatkan berkah dari Sang Hyang Widhi.
ADVERTISEMENT
Pada momen tersebut, umat Hindu biasanya mengunjungi keluarga, teman dekat, teman seprofesi, dan lainnya untuk saling memaafkan atas segala kekhilafan dan kesalahan yang sudah terjadi sebelumnya.
Ritual Ngembak Geni membutuhkan beberapa perlengkapan, salah satunya adalah Siwa Upakara yang kerap digunakan dalam upacara. Alat tersebut memuat bunga, dhupa, dan banten pejati.
Bunga menjadi simbol dari Tuhan sekaligus sarana melakukan sembahyang. Kemudian, dhupa adalah harum-haruman yang melambangkan Dewa Agni sebagai pemimpin upacara. Sementara itu Banten menjadi bentuk kesungguhan hati kepada Sang Hyang Widhi.
(GTT)