Konten dari Pengguna

Menilik Kondisi Bangsa Indonesia Sebelum Tahun 1908 yang Penuh Penderitaan

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
17 November 2021 17:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kondisi bangsa Indonesia sebelum tahun 1908. Foto: wikipedia
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi bangsa Indonesia sebelum tahun 1908. Foto: wikipedia
ADVERTISEMENT
Kondisi bangsa Indonesia sebelum tahun 1908 sangat jauh dari kata merdeka. Rakyat dijajah dan diperdaya oleh bangsa Belanda yang berupaya memeras kekayaan Tanah Air dan memecah belah bangsa.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1602, Belanda mendirikan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di Indonesia. Di berbagai daerah, VOC melaksanakan taktik politiknya, yakni devide et impera atau politik adu domba.
Belanda mengadu domba antara satu kerajan dengan kerajaan lain. Sehingga, kekuatan kerajaan-kerajaan di Indonesia pun melemah dan turut merusak persatuan. Tidak hanya itu, penindasan dan penyelewengan pun kerap kali dilakukan.
Lalu, seperti apa kondisi bangsa Indonesia sebelum tahun 1908?

Kondisi Bangsa Indonesia Sebelum Tahun 1908

Penjajahan Belanda atas bangsa Indonesia terjadi di bawah kepemimpinan Daendels pada tahun 1808-1811. Daendels memerintahkan rakyat Indonesia untuk melakukan kerja rodi guna membangun jalan sepanjang pulau Jawa, Anyer-Panarukan.
Kondisi bangsa Indonesia sebelum tahun 1908. Foto: wikipedia
Tentu, kerja paksa ini membuat rakyat semakin menderita. Tidak hanya itu, penderitaan juga berlanjut ketika Belanda menerapkan kebijakan Cultuurstelsel atau Tanam Paksa.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini diterapkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Den Bosch tahun 1828. Sistem Tanam Paksa mewajibkan rakyat menanami sebagian dari sawah atau ladangnya dengan tanaman yang ditentukan oleh pemerintah. Kemudian, hasil tanaman tersebut nantinya diserahkan kepada Belanda.
Tanam Paksa memeras tenaga rakyat Indonesia. Tidak hanya itu, kekayaan pun terkuras habis, sehingga banyak ditemukan rakyat yang jatuh miskin. Namun, Belanda justru mendapatkan kekayaan yang berlimpah dari hasil penderitaan tersebut.
Dikutip dari buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan SMP Kelas VIII, penderitaan bangsa Indonesia akhirnya menumbuhkan benih perlawanan di berbagai daerah. Perjuangan melawan penjajah mulai dipimpin para ulama dan kaum bangsawan.
Ada Sultan Hasanuddin dari Sulawesi Selatan, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, Tuanku Imam Bonjol dari Sumatera Barat, Pangeran Diponegoro dari Jawa Tengah, mereka turut serta dalam aksi perjuangan rakyat melawan penjajah.
Kondisi bangsa Indonesia sebelum tahun 1908. Foto: wikipedia
Mereka bersatu dalam semangat nasionalisme yang kuat. Namun sayang, menurut Dr. H. Ishaq dalam buku Pendidikan Pancasila, peperangan ini gagal karena perlawanan kala itu masih bersifat kedaerahan.
ADVERTISEMENT
Kondisi bangsa Indonesia yang kacau turut menyentuh hati beberapa orang Belanda yang tinggal di Tanah Air seperti Baron Van Houvell, Edward Douwes Dekker, dan Mr. Van Deventer. Douwes Dekker atau Multatuli menuangkan penderitaan masyarakat Lebak di Banten melalui buku yang bertajuk Max Havelaar pada 1860.
Sementara itu, Van Deventer menyarankan Politik Etische atau politik balas budi yang dapat menguntungkan pihak Indonesia-Belanda. Politik tersebut terdiri dari tiga program, yakni pendidikan, emigrasi, dan rigasi.
Belanda akhirnya menerapkan politik balas budi untuk Indonesia. Namun, politik itu hanya menguntungkan Belanda. Irigasi diterapkan untuk perkebunan milik Belanda. Sedangkan, pembangunan sekolah dilakukan untuk menyediakan tenaga kerja terampil dan murah.
Kendati demikian, pembangunan sekolah memberikan dampak positif untuk Indonesia. Melalui sekolah tersebut, masyarakat Nusantara menjadi terpelajar. Rakyat akhirnya berusaha bergerak untuk bangkit dan membebaskan Tanah Air dari penjajah.
ADVERTISEMENT
(MSD)