Konten dari Pengguna

Mitos Anak Pertama dan Ketiga yang Dipercaya Masyarakat Jawa

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
13 Juni 2023 16:05 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pasangan anak pertama dan ketiga Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pasangan anak pertama dan ketiga Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Mitos anak pertama dan ketiga masih dipercaya sebagian masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di Pulau Jawa. Mitos tersebut mengatakan bahwa pantang bagi anak pertama dan ketiga untuk menikah.
ADVERTISEMENT
Mengutip buku Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy (2007), apabila tetap dilakukan, risikonya adalah salah satu orang tua dari kedua mempelai akan meninggal dunia. Di Solo, mitos tersebut dikenal dengan sebutan lusan.
Lusan adalah singkatan dari nomor telu (tiga) dan pisan (satu atau pertama). Mitos ini meyakini bahwa anak pertama dan anak ketiga tidak akan berjodoh karena sebab apa pun.
Sehingga, rencana perkawinannya pun harus dihindari. Untuk mengetahui lebih dalam tentang mitos anak pertama dan ketiga, simak penjelasan lengkapnya berikut ini.

Mitos Anak Pertama dan Ketiga

Ilustrasi anak pertama dan ketiga. Foto: metamorworks/Shutterstock
Menurut mitos yang dipercaya orang Jawa, pernikahan antara anak pertama dan ketiga sulit untuk mencapai keharmonisan. Pernikahan tersebut jauh dari kebahagiaan, pasangan tidak akan dikaruniai keturunan yang baik, dan selalu dalam penderitan.
ADVERTISEMENT
Seperti disebutkan sebelumnya, mitos tersebut dikenal dengan istilah lusan. Di Semarang, pernikahan anak pertama dan ketiga dinilai tidak akan langgeng dan awet.
Mitos anak pertama dan ketiga sering kali dikaitkan dengan weton atau tanggal-tanggal jeblok. Mitos ini dipercaya oleh sebagian masyarakat Jawa yang menganut kepercayaan kejawen.
Namun kini, mitos tersebut tidak begitu diyakini. Sebagian orang menyadari bahwa mitos tersebut hanyalah ilmu gatuk-gatuk atau ilmu yang hanya mencocokkan peristiwa secara acak.
Kesimpulan yang diambil dalam mitos ini tidak berdasar. Tidak ada fakta yang bisa diuji keilmiahannya, dijelaskan data-datanya, dan dibuktikan kebenarannya.
Dalam pandangan Islam, mitos tidak dianjurkan untuk dipercaya. Dikutip dari buku Kumpulan Tanya Jawab Keagamaan susunan Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah (2007), kepercayaan tentang mitos yang bisa menjadikan seorang Muslim kufur adalah sesuatu yang tidak baik.
Ilustrasi pasangan muda di awal pernikahan. Foto: TimeImage Production/Shutterstock
Kemudian, para ulama juga mengatakan bahwa kepercayaan yang dapat memunculkan firasat buruk tidak boleh diyakini terus-menerus. Ketika merasakan firasat tersebut, maka ucapkanlah kalimat berikut ini:
ADVERTISEMENT
أَناَ عَبْدُ اللهِ مَاشَاءَ اللهُ لاَقُوَّةَ الاّ باللهِ لَايَأْتِى بِالْحَسَنَاتِ الاّ اللهُ وَلَا يُذْهِبُ السَّيِّئَاتِ اِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنَّ اللهَ عَلىَ كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ
Artinya: "Aku hamba Allah, segala sesuatu atas kehendak Allah, tiada kekuatan melainkan dari Allah, tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali Allah, dan tidak ada yang menghilangkan keburukan kecuali Allah. Aku bersaksi bahwasannya Allah Maha Mampu atas segala sesuatu.” (HR. Abu Dawud).
Berdasarkan hadits tersebut, wajar jika dalam hati seseorang timbul perasaan negatif karena mengalami suatu peristiwa. Hal ini merupakan respons manusiawi.
Bukan berarti orang yang mengalami hal tersebut dianggap musyrik. Hanya saja, hal ini menunjukkan bahwa tingkat keimanannya sedang menurun atau dalam posisi rendah.
(MSD)
ADVERTISEMENT