Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mitos Burung Perkutut yang Dipercaya oleh Masyarakat Jawa
10 Oktober 2022 16:57 WIB
·
waktu baca 3 menitDiperbarui 11 Maret 2023 17:10 WIB
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Suatu hari, burung perkutu tersebut lepas dari sangkar. Namun, akhirnya berhasil ditemukan kembali oleh sang raja dalam perjalanannya di wilayah Yogyakarta, tepatnya di daerah Kretek, Bantul.
Berkaca pada kebiasaan Prabu Brawijaya yang memelihara perkutut, raja-raja Mataram pun mulai melestarikan dan mentradisikan kekukututan (memelihara perkutut). Tradisi ini juga diterapkan dalam kehidupan Kraton Ngayogyakarta.
Perkutut digunakan sebagai lambang dalam ajaran falsafah Jawa hastabrata. Bagaimana mitos burung perkutut yang terkenal di kalangan masyarakat Jawa? Simak artikel berikut untuk mengetahui penjelasannya.
Mitos Burung Perkutut
Menurut silsilahnya, tradisi memelihara perkutut di Tanah Jawa banyak dilakukan oleh kalangan bangsawan, pemuka masyarakat, tokoh pemerintahan, dan pedagang kaya. Mereka meyakini bahwa hobi memelihara perkutut bisa mendatangkan ketentraman jiwa.
ADVERTISEMENT
Dalam buku Tangguhe Candrane lan Jamu Perkutut karya B. Sarwono diungkapkan bahwa: “Manawa kasawang saka ilmu jiwa, ingon-ingon manuk perkutut iku ora baen-baen, sebab kajaba kalebu golongane “Seni Swara” uga murakabi marang panggulawentah sarta bisa mahanani katentreman.”
Artinya, jika dilihat dari ilmu jiwa, hobi memelihara perkutut bukan pekerjaan remeh. Selain tergolong "seni suara", hobi ini bermanfaat untuk membina budi pekerti dan berpengaruh menciptakan ketenteraman hati.
Pada bagian lain disebutkan bahwa hasil nyata dari hobi memelihara perkutut bisa membebaskan orang dari keinginan yang tidak sesuai. Hobi ini juga dapat menjauhkan seseorang dari setan yang senantiasa menggoda untuk melakukan hal buruk.
Dalam paham Jawa, perkutut dianggap sebagai binatang yang sakral. Salah satu falsafah mengungkapkan bahwa seorang lelaki yang telah dewasa harus memiliki delapan unsur (Sapta Brata), yang salah satunya adalah kukila (manuk) atau burung.
ADVERTISEMENT
Dalam Sapta Brata disebutkan bahwa seorang lelaki Jawa dianggap sudah 'dewasa' kalau sudah memiliki wisma, curiga, kukila, turangga, gangsa, dan tiga unsur lainnya. Karena itu banyak masyarakat Jawa yang memelihara burung perkutut dengan berbagai pertimbangan.
Pertimbangan tersebut didasarkan pada wibawa dan nilai-nilai ajaran adiluhung yang dianut oleh masyarakat setempat. Hingga pada Juni 1990, burung perkutut pun dijadikan sebagai maskot Propinsi DIY.
Mengutip buku Beternak Perkutut Katuranggan atau Perkutut Warna (2018), kukila dalam Sapta Brata itu berarti manggung atau manuk anggung-anggungan. Ini mengacu pada wujud burung perkutut.
Kata manuk itu sendiri terdiri dari Ma (manjing) yang berarti masuk dan Nya (nyawa) yang berarti hidup. Melalui filosofi ini, masyarakat Jawa percaya bahwa burung perkutut dapat menghidupkan rezeki seseorang, menciptakan keharmonisan, dan ketentraman.
ADVERTISEMENT
Burung perkutut terbagi menjadi dua jenis, yakni yang mempunyai katuranggan baik dan tidak baik. Seperti disebutkan dalam Primbon Betaljemur Ada Makna, perkutut yang punya katuranggan baik antara lain Srimangempel, Wisnucarita, Wisnumangenu Kusumawicitra, dan Pandhawa Mijl.
Sedangkan turangga perkutut yang dianggap tidak baik antara lain Bramasulur, Brama Sulurgenni, Bramakala, Bramakokap, Durgangerik, Durgaanguwuh Sanggabuwana Lemburuwan, Cendhalasabda, dan Jan Wisnutinundhung.
(MSD)