Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.0
Konten dari Pengguna
Nikah Beda Agama: Cara, Hukum, dan Syaratnya
23 Desember 2020 16:32 WIB
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Nikah beda agama seringkali menjadi topik yang diperdebatkan. Sebab, beberapa agama memiliki penafsiran yang tidak memperkenankan umatnya menikahi orang lain jika tidak seiman dengan pasangannya.
ADVERTISEMENT
Akhirnya banyak hubungan beda agama yang kandas di tengah jalan. Sebaliknya, ada juga beberapa pasangan yang tetap melangsungkan pernikahan meski terganjal perbedaan agama.
Muncul pertanyaan bagaimana hukum nikah beda agama menurut perundang-undangan di Indonesia? Simak penjelasannya berikut ini:
Hukum Nikah Beda Agama di Indonesia
Berdasarkan Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, hukum tentang pernikahan campur, dalam arti beda agama, tidak dijelaskan secara eksplisit. Aturan tersebut hanya memperbolehkan pernikahan campuran kewarganegaraan.
Anggapan bahwa nikah beda agama tidak diperkenankan biasanya merujuk pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”
Ketidakjelasan aturan ini menyebabkan timbulnya ruang untuk berbagai penafsiran. Pasal di atas juga dapat ditafsirkan bahwa pernikahan beda agama diperbolehkan asal sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Hal ini diperkuat dengan adanya Undang-undang Hak Asasi Manusia No 39 Tahun 1999 yang mengatakan bahwa terdapat setidaknya ada 60 hak sipil warga negara yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun, termasuk tentang pemilihan pasangan, menikah, berkeluarga, dan memiliki keturunan.
Syarat Nikah Beda Agama
Merujuk Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, sebuah perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Berarti yang harus diperhatikan ketika ingin melangsungkan pernikahan beda agama adalah apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan?
Setiap agama memiliki rumusan masing-masing soal pernikahan. Beberapa agamawan pun memiliki penafsiran berbeda. Di Islam misalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional II pada 1980 telah menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama.
ADVERTISEMENT
Dalam fatwa tersebut para ulama memutuskan bahwa perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim hukumnya haram. Seorang laki-laki Muslim juga diharamkan mengawanini wanita bukan Muslim. Di sisi lain, ada juga agamawan muslim yang memperbolehkannya.
Cara Nikah Beda Agama
Meski pernikahan agama terkesan sulit diwujudkan, terdapat beberapa cara yang dapat ditempuh. Beberapa cara tersebut meliputi:
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986, para pasangan beda keyakinan dapat meminta penetapan pengadilan. Pasangan yang hendak menikah meminta permohonan ke pengadilan agar menyetujui permohonan pencatatan pernikahan ke kantor catatan sipil (KCS) setempat.
Langkah ini dasar hukumnya ada pada Pasal 35 huruf (a) UU Adminduk yang menyebut bahwa pencatatan perkawinan berlaku pula bagi pernikahan beda agama melalui penetapan pengadilan.
ADVERTISEMENT
Artinya pasangan melakukan ritual perkawinan menurut agama masing-masing. Contohnya pasangan yang beragama Islam dan Kristen melaksanakan akad nikah dan juga pemberkatan.
Agar dapat melakukannya, Anda harus mencari pemuka agama yang bersedia menikahkan pasangan sesuai ajaran agamanya.
Ini adalah cara yang banyak ditempuh oleh selebriti Tanah Air, namun cukup menguras kantong. Pasangan beda agama bisa menikah di negara yang memang memperbolehkan adanya perkawinan beda agama.
Perkawinan tersebut sah jika dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku di negara tempat perkawinan tersebut dilangsungkan. Namun pasangan yang menikah tetap harus melaporkan perkawinan tersebut di kantor catatan sipil Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan:
ADVERTISEMENT
“Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.”
(ERA)