Konten dari Pengguna

Orang yang Terlilit Hutang dalam Islam, Bagaimana Statusnya?

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
24 November 2022 17:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hutang menumpuk. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hutang menumpuk. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Hutang piutang dalam kegiatan muamalah adalah hal yang biasa. Bahkan, cara ini bisa dijadikan sebagai alternatif untuk menyukseskan suatu usaha atau bisnis di era modern seperti sekarang.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, ajaran Islam tetap mengingatkan agar umat Muslim berhati-hati dalam berutang. Jangan sampai, seseorang terlilit utang dan tidak mampu membayarnya, sehingga menyebabkan kerugian bagi berbagai pihak.
Ulama fiqih menyatakan bahwa orang yang terlilit hutang bisa dikategorikan sebagai orang yang pailit atau gharim. Mengutip buku Fikih Madrasah Aliyah Kelas X karya Harjan Syuhada, seseorang yang berstatus pailit ini dapat dikenakan hajr.
Sehingga, ia dilarang untuk mengelola harta kekayaannya sendiri. Agar lebih memahaminya, berikut penjelasan tentang orang terlilit hutang dalam Islam selengkapnya.

Orang yang Terlilit Hutang dalam Islam

Orang yang terlilit hutang dalam Islam disebut sebagai gharimin. Biasanya, orang ini tidak mampu melunasi hutang-hutang yang dibebankan kepadanya karena tidak memiliki harta lain.
Ilustrasi terlilit hutang. Foto: Shutterstock
Mengutip buku Keuangan Publik karya Mail Hilian Batin (2022), para imam madzhab memiliki pandangan tersendiri dalam memaknai kata gharimin. Menurut Abu Hanifa, gharimin adalah orang yang mempunyai utang dan dia tidak memiliki bagian yang lebih dari utangnya.
ADVERTISEMENT
Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad mengatakan bahwa gharimin dapat terbagi menjadi dua golongan. Pertama yaitu orang yang mempunyai utang untuk kemaslahatan diri dan keluarganya. Kemaslahatan ini bisa digunakan untuk kebutuhan pokok seperti makan, pakaian, pengobatan, pendidikan, dan lain-lain.
Golongan kedua yaitu orang yang berutang untuk kemaslahatan umum. Contohnya seseorang yang mendamaikan dua orang bersengketa tetapi membutuhkan dana yang lumayan besar, sehingga ia harus berhutang.
Contoh lainnya yaitu orang yang melakukan amal kebaikan seperti memelihara anak-anak yatim, mengurus orang-orang lanjut usia, dan mendirikan tempat pendidikan bagi kaum dhuafa. Golongan ini menggunakan utangnya untuk tujuan kebaikan.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, orang yang terlilit hutang akan dikenakan hajr di mana ia tidak diperkenankan untuk mengelola hartanya sendiri. Dalil yang melandasi pendapat ini adalah tindakan Rasulullah SAW terhadap Mu'az bin Jabal yang dililit banyak hutang.
Ilustrasi hutang menumpuk. Foto: Shutterstock
Menurut mazhab Maliki, seseorang yang terlilit hutang baru dapat dikenakan hajr setelah ada pengaduan dari kreditor dan mendapat penetapan dari hakim. Dalam persoalan ini, hakim mempunyai wewenang untuk memenjarakan orang tersebut dan menjual aset maupun hartanya untuk melunasi semua hutangnya.
ADVERTISEMENT
Tentunya ada akibat yang akan ditanggung oleh orang-orang yang dinyatakan pailit atau bangkrut yakni sebagai berikut:
(MSD)