Pengertian Ikhlas dan Tingkatannya dalam Islam

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
Konten dari Pengguna
30 Juni 2021 17:30 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ikhlas. Foto: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ikhlas. Foto: Freepik
ADVERTISEMENT
Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa ikhlas, terutama dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Perintah ini disampaikan Allah melalui firman-Nya dalam beberapa ayat Al Quran, salah satunya yang tercantum dalam Surat Al A'raf ayat 92 berikut ini.
ADVERTISEMENT
"Katakanlah, “Tuhanku menyuruhku untuk berlaku adil. Dan hadapkanlah wajahmu (kepada Allah) pada setiap shalat, dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya. Kamu akan dikembalikan kepada-Nya sebagaimana kamu diciptakan semula.”"
Lantas, apa sebenarnya makna ikhlas itu sendiri?
Secara bahasa, ikhlas artinya bersih, suci, jernih, atau tidak ternoda. Sedangkan, secara istilah, ikhlas adalah sesuatu yang murni dan tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya.
Mengutip buku Dahsyatnya Ikhlas oleh Mahmud Ahmad Mustafa (2009), pengertian ikhlas juga disampaikan oleh ulama Abi Qasimy al-Qusyairi. Ia berkata, “Ikhlas adalah menjadikan tujuan taar satu-satunya hanyalah kepada Allah SWT. Dan ingin mendekatkan diri kepada Allah. Bukan untuk mendapat pujian.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ikhlas adalah melakukan sesuatu dengan mengharap ridha Allah semata dan tidak mengiringinya dengan pengharapan terhadap ridha dari selain Allah.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, ikhlas tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, karena ikhlas datangnya dari hati. Hanya Allah dan umat-Nya lah yang mengetahui keikhlasan tersebut.
Mungkin saja, di bibir seseorang dapat mengatakan dirinya ikhlas meskipun dalam hatinya tidak demikian. Namun, Allah Maha Mengetahui segalanya.
Ikhlas juga tak terbatas dalam perkara ibadah seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan amal ibadah lainnya, tetapi juga menyangkut amalan-amalan yang berhubungan dengan muamalah (kehidupan sosial). Misalnya tersenyum kepada orang lain, menolong sesama, dan sebagainya. Begitupun ketika dihadapi dengan cobaan, umat Muslim harus menerimanya dengan ikhlas

Tingkatan Ikhlas

Ilustrasi ikhlas. Foto: iStock
Syekh Muhammad Nawawi Banten dalam kitabnya Nashaihul Ibad membagi ikhlas menjadi tiga tingkatan. Pertama, tingkatan paling tinggi atau ikhlasul muhibbin, yakni membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk (manusia). Maksudnya, pada tingkatan ini orang yang melakukan ibadah tidak memiliki tujuan apapun selain karena ingin menuruti perintah Allah.
ADVERTISEMENT
Ia tak pernah memikirkan balasan atas amalnya itu, bahkan tak memedulikan apakah kelak ibadahnya itu akan membawanya ke surga atau neraka. Sebab, ia hanya mengharapkan ridha Allah SWT semata.
Kedua, tingkatan menengah atau yang disebut dengan ikhlasul aabidin, yaitu melakukan amal ibadah agar Allah memberinya imbalan akhirat, seperti dimasukkan ke dalam surga atau dijauhkan dari siksa api neraka.
Pada tingkatan kedua ini, seseorang beramal karena Allah, tetapi sebenarnya ia berharap agar ibadahnya membuatnya mendapatkan pahala dari Allah SWT. Perbuatan semacam ini masih tergolong ikhlas, meskipun ikhlasnya tidak sempurna karena masih dipengaruhi atau didorong keinginan hal yang lain.
Ketiga, tingkatan ikhlas yang paling rendah, karena seseorang beribadah karena Allah, tetapi memiliki harapan imbalan duniawi.
ADVERTISEMENT
Misalnya, seorang Muslim rajin mengerjakan sholat dhuha, tetapi di baliknya ia berharap dengan ibadahnya itu Allah akan meluaskan rezekinya. Atau banyak membaca istighfar agar dimudahkan mendapat keturunan, dan sebagainya.
Apabila seseorang beribadah tanpa melibatkan Allah di dalamnya, misalnya rajin sholat hanya karena ingin dianggap taat, bersedekah karena ingin disanjung, atau hal semacamnya, itu tidak termasuk ikhlas, melainkan sikap riya yang tercela. Hal tersebut ditegaskan oleh Syekh Nawawi. Ia mengatakan, “Selain ketiga motivasi di atas adalah riya yang tercela.”
(ADS)