Pengertian Mandub Beserta Hukum dan Pembagiannya dalam Islam

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
Konten dari Pengguna
18 Mei 2022 9:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mandub. Foto: pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mandub. Foto: pexels
ADVERTISEMENT
Secara bahasa, mandub berasal dari kata “nabd” yang berarti permohonan terhadap sesuatu yang penting. Dalam konteks lain, mandub juga dapat diartikan sebagai mathlub syar’an (yang dituntut secara syara’ untuk dikerjakan).
ADVERTISEMENT
Secara istilah, mandub adalah pekerjaan yang jika dilakukan bisa mendatangkan pahala, namun bila ditinggalkan tidak mendapat dosa. Dalam buku Pengantar Ushul Fiqih karya Dr. Abdul Hayy (2006), Al-Amidi dan Al-Ihkam mendefinisikan mandub sebagai sesuatu yang dikerjakan lebih baik daripada ditinggalkan.
Mandub memiliki arti yang sama dengan sunnah, nafilah, mustahab, tahtawwu’, dan ihsan. Mayoritas ulama Syafi’i berpendapat bahwa semua lafazh tersebut bersinonim dan saling berkaitan.
Penjelasan tentang mandub telah banyak disebutkan dalam Alquran, di antaranya pada Surat Al-Baqarah ayat 282 dan An-Nur ayat 33. Bagaimana pembagian mandub dalam Islam? Simak artikel berikut untuk mengetahui jawabannya.

Pembagian Mandub dalam Islam

Mandub sangat dianjurkan dalam Islam. Allah SWT pun telah menjelaskannya secara tersirat dalam beberapa ayat Alquran, salah satunya Surat Al-Baqarah ayat 282 berikut ini:
Ilustrasi mandub. Foto: pixabay
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.”
ADVERTISEMENT
Menurut Asep Maulana dalam buku Ushul Fiqih Kontemporer (2021), ayat tersebut telah memerintahkan umat Muslim untuk mencatat utang piutang yang dilakukan dalam rentang waktu tertentu. Hukum asal perintahnya bukanlah wajib, melainkan hanya mandub.
Secara umum, hukum mandub dibagi menjadi dua jenis, yakni muakkad dan ghairu muakkad. Kembali mengutip buku Pengantar Ushul Fiqih karya Dr. Abdul Hayy (2006), berikut penjelasan lengkapnya

1. Mandub Muakkad

Mandub muakkad adalah pekerjaan yang diberi pahala orang yang mengerjakannya dan tidak dikenai dosa bagi orang yang meninggalkannya. Namun pada mandub ini, orang yang meninggalkannya dianggap telah menempuh jalan kesesatan.
Sebab, mandub muakkad merupakan penyempurna bagi kewajiban-kewajiban agama. Kriterianya adalah semua amalan yang selalu dikerjakan oleh Rasulullah SAW dan jarang ditinggalkan.
Ilustrasi mandub. Foto: pixabay

2. Mandub Ghairu Muakkad

ADVERTISEMENT
Mandub ghairu muakkad adalah sesuatu yang terkadang dikerjakan oleh Rasulullah SAW dan tidak. Contohnya adalah sedekah sunnah, puasa Senin-Kamis, puasa daud, dan lain-lain. Amalan tersebut dikenal juga dengan istilah sunnah ghair muakkadah.

Hukum Menyempurnakan Mandub

Ulama Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa hukum menyempurnakan mandub adalah wajib. Artinya, orang yang telah memulai pekerjan mandub, diwajibkan untuk meneruskannya hingga sempurna.
Dasar dalil yang digunakan adalah firman Allah SWT dalam surat Muhammad ayat 33. Allah SWT berfirman: "Dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu."
Berkaca pada ayat tersebut, golongan Maliki dan Hanafi menyimpulkan bahwa Allah SWT melarang hamba-Nya untuk membatalkan pekerjaan. Barangsiapa yang telah memulai suatu pekerjaan, maka wajib baginya untuk menyempurnakan pekerjaan tersebut.
ADVERTISEMENT
(MSD)