Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Pengertian Mushaharah dan Pembagiannya dalam Islam
21 Juli 2022 13:06 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam Islam, hubungan kemahramahan antara laki-laki dan perempuan bisa terjadi karena tiga sebab utama, yaitu nasab, mushaharah, dan radhaah. Mushaharah adalah hubungan kemahraman dan kekeluargaan yang timbul karena pernikahan.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Syarif Kasim Riau dalam jurnal Analisis Pendapat Imam Ahmad Ibn Hanbal tentang Perbuatan Zina dan Liwath Dapat Menyebabkan Mushaharah menjelaskan, mushaharah adalah orang-orang yang haram atau dilarang untuk dinikahi karena ada ikatan kekeluargaan dari hasil suatu pernikahan.
Perlu diketahui, pernikahan yang dimaksud bukan sebatas dilakukan akad nikah, tetapi harus terjadi jima’. Artinya, kemahraman belum terjadi selama pasangan itu belum melakukan jima’.
Allah telah menegaskan siapa saja wanita yang haram dinikahi karena mushaharah. Ketentuan ini termaktub dalam Surat An-Nisa ayat 23 yang artinya:
“(dan haram menikah) ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, istri-istri anakmu dari sulbimu.”
ADVERTISEMENT
Pembagian Mushaharah
Mengutip buku Ensiklopedia Fikih Indonesia Pernikahan tulisan Ahmad Sarwat, Lc., berikut pembagian mushaharah yang didasarkan pada Surat An-Nisa ayat 23:
1. Ibu dari Istri (Mertua Wanita)
Haram hukumnya bagi seorang lelaki menikahi ibu dari istrinya atau mertua perempuannya. Sifat kemahraman tersebut berlaku selama-lamanya, bahkan meski ikatan pernikahannya putus karena sang istri telah meninggal atau keduanya bercerai. Walaupun statusnya adalah mantan mertua dan menantu, pernikahan antara keduanya tetap haram.
2. Anak Wanita dari Istri (Anak Tiri)
Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang memiliki anak perempuan dari pernikahan sebelumnya, haram baginya untuk menikahi anak tirinya itu. Sama halnya dengan hubungan antara menantu dan mertua, kemahraman ini juga bersifat selama-lamanya meski sang istri telah wafat atau bercerai.
Namun, jika mereka belum pernah melakukan hubungan suami istri dan bercerai, anak dari istrinya tersebut boleh dinikahi. Hal ini sesuai dengan Surat An-Nisa ayat 23 yang sudah dijelaskan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
3. Istri dari Anak Laki-laki (Menantu)
Mushaharah tidak hanya terjadi pada lelaki dan ibu mertuanya, tetapi juga pada lelaki dan menantu atau istri dari anaknya sendiri. Kemahraman ini berlaku selama-lamanya dan tidak bisa dibantah, sekalipun wanita itu sudah tidak menjadi menantunya.
4. Istri dari Ayah (Ibu Tiri)
Seorang laki-laki haram menikahi janda dari ayahnya sendiri. Itu karena kedudukan wanita tersebut tidak lain sebagai ibu, meski hanya ibu tiri. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah sebagai berikut:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh).” (QS. An-Nisa: 22)
(ADS)