Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Pengertian Sutrah beserta Hukum Penggunaannya dalam Islam
4 Oktober 2022 12:29 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Secara bahasa, sutrah berasal dari kata satara-yasturu yang berarti menutupi, menghalangi, atau menyembunyikan. Sedangkan secara istilah, sutrah adalah segala benda yang diletakkan di depan orang sholat, baik berupa tongkat atau lainnya.
ADVERTISEMENT
Ad-dardir dalam Kitab Asy-syahru Ash-shaghir mendefinisikan sutrah sebagai benda yang dijadikan pembatas oleh orang sholat untuk mencegah orang lewat di hadapannya. Imam dan orang yang sholat sendiri (munfarid) dianjurkan menggunakan sutrah.
Disebutkan dalam buku Fiqih Praktis Sehari-Hari karya Farid Nu’man (2019), sutrah dapat berupa dinding, tiang, tombak, pelana kuda, tas, atau punggung manusia. Anjuran penggunaan sutrah telah disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
“Jika salah seorang kalian sholat menghadap sutrah (pembatas), ia hendaklah mendekatinya, niscaya sholatnya tidak akan diputus oleh setan.” (HR. Abu Dawud)
Meski dianjurkan, para ulama masih berbeda pendapat dalam menetapkan hukum penggunaan sutrah. Seperti apa penjelasannya?
Hukum Penggunaan Sutrah dalam Islam
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum memasang sutrah adalah wajib karena adanya perintah dari Rasulullah SAW. Dalam shalat berjamaah, orang yang menghadap sutrah adalah imam. Sutrah bagi imam juga merupakan sutrah bagi makmum yang berada di belakangnya.
ADVERTISEMENT
Dalam salah satu hadits, Rasulullah SAW bersabda: "Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang menutupinya dari manusia (menghadap sutrah), lalu ada seseorang ingin melintas di hadapannya, hendaklah ia menghalangnya pada lehernya. Kalau orang itu enggan untuk minggir (tetap memaksa lewat) perangilah (tahanlah dengan kuat) karena ia hanyalah setan.” (HR. Bukhari Muslim)
Berbeda dengan pendapat tersebut, sebagian ulama lain justru menganggap bahwa hukum penggunaan sutrah adalah sunnah. Dalam salah satu riwayat, Imam an-Nawawi pernah mengomentari hadits tentang sutrah yang setinggi pelana kuda. Beliau mengatakan:
“Hadits ini menunjukkan sunnah meletakkan sutrah di depan orang shalat, dan terdapat penjelasan juga tentang ukuran minimal sutrah selebar pelana kuda, yakni kira-kira sepanjang satu hasta.”
ADVERTISEMENT
Berkaca pada pendapat tersebut, mayoritas madzhab Syafi’i mengatakan bahwa tidak masalah (boleh) jika sutrah hanya berupa garis. Imam atau munfarid tidak perlu meletakkan benda yang bervolume di hadapannya, baik itu berupa tas atau tongkat.
Dijelaskan dalam buku Dialog Lintas Mazhab: Fiqih Ibadah dan Muamalah susunan Dr. Asmaji Muchtar (2015), semua mazhab sepakat bahwa orang yang tidak menggunakan sutrah tidak akan berdosa. Ini karena sutrah hanya dimandubkan bagi imam dan munfarid.
Adapun bagi makmum, ia tidak dimandubkan memakainya karena sutrah imam juga menjadi sutrah bagi makmum tersebut. Mengenai syarat-syarat sutrah, terjadi perbedaan pendapat antara imam mazhab.
Mazhab Hanafi mengatakan bahwa syarat-syarat sutrah meliputi panjangnya mencapai tiga dzira' atau lebih, tebalnya tidak ada batas minimal, sah memakai sutrah di mana pun, harus lurus, jarak antara sutrah dan mushalli sepanjang tiga dzira'.
ADVERTISEMENT
(MSD)