Konten dari Pengguna

Perbedaan Mahram dan Muhrim dalam Islam, Pahami Pengertiannya Agar Tidak Keliru

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
30 Agustus 2022 15:31 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perbedaan mahram dan muhrim dalam Al Quran. Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perbedaan mahram dan muhrim dalam Al Quran. Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Karena pelafalannya yang hampir mirip, sebagian umat Muslim menganggap mahram dan muhrim memiliki makna yang sama. Padahal, mahram dan muhrim adalah dua topik yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Secara istilah, mahram dapat dijumpai dalam pembahasan tentang pernikahan. Sedangkan, istilah muhrim lebih familiar dalam pembahasan soal pelaksanaan ibadah haji atau umrah.
Perbedaan mahram dan muhrim dapat diketahui dari pengertiannya. Agar tidak keliru memahaminya, simak simak penjelasan selengkapnya berikut ini.

Perbedaan Mahram dan Muhrim

Pengertian Muhrim

Tak jarang orang masih keliru menggunakan istilah mahram dan muhrim. Misalnya mengatakan, “Jangan dekat-dekat, bukan muhrim.” Padahal kata yang lebih tepat dalam kalimat tersebut adalah mahram.
Jemaah memakai pakaian ihram di Masjidil Haram. Foto: Muhammad Iqbal/kumparan
Dijelaskan dalam buku Haram tapi Bukan Mahram oleh Hanif Luthfi, Lc., muhrim berasal dari kata ahrama yuhrimu-ihraman, yang artinya mengerjakan ibadah ihram. Istilah ini merujuk pada orang yang sedang mengerjakan ibadah ihram, baik saat haji maupun umrah.
Ihram sendiri merupakan salah satu rukun haji dan umrah. Ketika jamaah haji atau umrah telah memasuki daerah miqat, lalu seseorang mengenakan pakaian ihramnya dan menghindari semua larangan ihram, maka orang itu disebut dengan muhrim.
ADVERTISEMENT

Pengertian Mahram

Mahram diambil dari kata yang memiliki makna serupa dengan haram, lawan kata halal. Mahram berarti sesuatu yang terlarang dan tidak boleh dilakukan. Dalam fiqih pernikahan, mahram adalah wanita yang haram untuk dinikahi karena nasab dan sebab.
Imam Nawawi menyebutkan, “Hakikat perempuan yang termasuk mahram di mana boleh seorang laki-laki boleh melihat, khalwat (berduaan), bepergian dengannya adalah wanita yang haram dinikahi karena sebab yang mubah, karena statusnya yang haram.
Kategori wanita yang mahram alias haram untuk dinikahi telah disebutkan dalam Al-Quran. Allah berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 23 yang artinya:
Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 23)
ADVERTISEMENT

Jenis-jenis Mahram

Ilustrasi mahram. Foto: Unsplash
Berdasarkan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 23, para ulama ahli fiqh membagi mahram menjadi dua macam, yaitu:

1. Mahram Muabbad

Mengutip buku Hukum dan Etika Pernikahan dalam Islam tulisan Ali Manshur, mahram muabbad adalah orang yang haram dinikahi selamanya. Yang termasuk dalam kategori ini ada 3 macam, yaitu:
a. Haram dinikahi karena hubungan kekerabatan (nasab)
Termasuk:
b. Haram dinikahi karena hubungan pernikahan
Termasuk:
ADVERTISEMENT
c. Haram dinikahi karena hubungan persusuan
Termasuk:

2. Mahram Ghairu Muabbad

Ilustrasi mahram. Foto: Unsplash
Mahram ghairu muabbad adalah orang yang haram dinikahi untuk sementara waktu karena ada suatu sebab yang menghalanginya. Ada empat golongan yang termasuk dalam kategori ini, yaitu:
a. Istri yang Ditalak Tiga
Jika istri telah dinikahi lelaki lain dan telah menikmati hubungan pernikahan tersebut tetapi kemudian keduanya bercerai, mantan suaminya boleh menikahinya lagi. Hal ini dijelaskan dalam Surat Al Baqarah ayat 230. Allah berfirman:
ADVERTISEMENT
Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” (QS. Al Baqarah: 230)
b. Wanita yang Masih Mempunyai Ikatan Pernikahan
Haram hukumnya menikahi wanita yang masih bersuami, masih dalam masa iddah, dan wanita yang sedang hamil. Mereka baru boleh dinikahi ketika segala ikatan dengan sang suami telah putus sepenuhnya.
c. Memadu Dua orang Wanita yang Bersaudara
Memadu dua orang wanita yang bersaudara hukumnya haram. Namun, jika sudah bercerai dengan salah satunya atau istrinya meninggal dunia, seorang pria boleh menikah dengan saudara wanita dari istrinya.
ADVERTISEMENT
Hal itu bertujuan agar hubungan kekerabatan dengan keluarga istri tetap terjaga dan anak-anak cepat beradaptasi karena diasuh oleh wanita yang punya kedekatan nasab dengan ibunya.
d. Memadu Bibi dari Istri
Memadu bibi dari istri, baik dari jalur ayah maupun ibu hukumnya haram. Ketetapan ini diatur berdasarkan hadits berikut:
Abdan telah menceritakan kepada kami: Abdullah telah mengabarkan kepada kami: Ashim telah mengabarkan kepada kami: Dari Sya’bi dia mendengar Jabir berkata. ‘Rasulullah SAW melarang dinikahinya seorang wanita bersama dengan bibinya dari jalur ibu dan bibinya dari jalur bapak.’” (HR. Bukhari, no. 5108)
(ADS)