Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perlawanan Rakyat Bali dan Sejarah Singkat Perang Puputan
14 Desember 2020 16:27 WIB
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Perjuangan masyarakat Bali dalam memberikan perlawanan sengit Belanda terjadi pada abad ke-19. Perang itu disebut dengan Perang Puputan atau perang hingga titik darah penghabisan. Perang Puputan terjadi karena Belanda ingin menguasai Bali.
Berikut ini cerita perlawanan rakyat Bali dalam Perang Puputan melawan kolonial Belanda.
Perang Puputan di Pantai Buleleng
Perang Puputan di Pantai Buleleng terjadi karena Belanda ingin menghapus hak tawan karang yang sudah menjadi tradisi turun temurun di Bali. Hak tawan karang merupakan hak raja Bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaannya.
Hal ini menjadi perdebatan lantaran masyarakat Bali tidak ingin menghapus tradisi tersebut. Pada tahun 1844, Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki meriam. Korban pun berjatuhan hingga Belanda berhasil menduduki satu per satu wilayah sekitar istana raja. Pada akhirnya, I Gusti Made Karangasem mengambil siasat untuk pura-pura menyerah kepada Belanda.
ADVERTISEMENT
Namun, perlawanan tak berhenti sampai di situ. I Gusti Ketut Jelantik, patih Kerajaan Buleleng tetap melanjutkan perlawanan. Ia memindahkan tempat perlawanan ke daerah yang berpusat di Jagaraga. Pertempuran kembali terjadi dan Belanda mendatangkan pasukan secara besar-besaran.
Benteng Jagaraga ditembaki meriam dan korban pun berjatuhan. Namun, semangat rakyat Bali dalam satu kesatuan Laskar Jagaraga tidak pudar. Sayang, perang akhirnya dimenangkan Belanda pada April 1849.
Perang Puputan Badung
Perang Puputan bermula dari kesalahpahaman Belanda yang mengira bahwa penduduk desa sekitar Pantai Sanur ingin menjarah muatan kapal pada tahun 1904. Padahal, saat itu kapal berbendera Belanda milik Kwee Tek Tjiang, Sri Kumala sedang dalam kondisi kandas.
Belanda menuntut Raja Badung untuk membayar 3 ribu ringgit, namun ditolak. Penolakan tersebut berujung serangan militer Belanda. Raja Badung meyakini bahwa hal tersebut sebenarnya hanya akal-akalan Belanda untuk melancarkan ekspedisi militer.
ADVERTISEMENT
Sebelum melakukan aksi militer, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Joannes Benedictus van Heuts telah mengirim surat kepada Menteri Jajahan pada 1905. Surat tersebut menyatakan Raja Badung perlu diberitahu bahwa kekuasaan dan perintah Belanda adalah mutlak hal yang harus dipatuhi.
Pasukan Belanda kemudian melancarkan aksinya pada 1906 dengan mendatangi wilayah kekuasaan Kerajaan Badung. Mereka menghujani bom lewat kapal perang Belanda. Alhasil, istana, puri, dan rumah warga terbakar. Dalam kondisi terdesak, Raja Badung tetap melakukan perlawanan.
Situasi perang semakin tidak mencekam. Tembakan pertama yang diluncurkan oleh Belanda berhasil menewaskan Raja Badung. Insiden tersebut membuat perlawanan rakyat Bali semakin gencar.
Prajurit Bali pun banyak yang terluka setelah mendapat rentetan tembakan yang tanpa henti hingga akhirnya Belanda tampil sebagai pemenang. Perang tersebut berlangsung cukup singkat, hanya dalam waktu 1 jam.
ADVERTISEMENT
(HDP)