Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Perlawanan Rakyat Pada Masa Pendudukan Jepang, Kerap Berakhir Tragis
14 Agustus 2020 17:04 WIB
Diperbarui 30 April 2021 10:13 WIB
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Namun, rakyat Indonesa tidak tinggal diam. Akibatnya, perlawanan pun tidak dapat dihindarkan. Sejarah mencatat, terdapat beberapa perlawanan rakyat pada masa pendudukan Jepang. Berikut ulasannya:
Perlawanan di Singaparna (Tasikmalaya)
Di masa pendudukan Jepang, rakyat Singaparna dipaksa untuk mengikuti upacara Seikerei (upacara penghormatan kepada kaisar Jepang dengan cara membungkuk ke arah matahari terbit). Masyarakat Singaparna merasa sangat dipermalukan. Mereka juga enggan karena gerakan tersebut dianggap menduakan Tuhan yang mereka percayai.
Selain itu, rakyat Singaparna juga merasa menderita karena diperlakukan secara sewenang-wenang oleh Jepang. Stok makanan pun semakin sedikit karena dialokasikan untuk keperluan perang Jepang.
Akibatnya, pada bulan Februari 1944, rakyat Singaparna melakukan perlawanan terhadap Jepang. Mereka dipimpin oleh Kiai Zainal Mustofa. Namun, Jepang berhasil menangkap Kiai Zainal Mustofa pada tanggal 25 Februari 1944. Dan pada tanggal 25 Oktober 1944, ia dihukum mati.
ADVERTISEMENT
Pemberontakan PETA di Blitar
PETA (Pembela Tanah Air) merupakan kesatuan militer yang dibentuk Jepang di Indonesia. Jepang merekrut para pemuda Indonesia untuk dijadikan sebagai tentara teritorial guna mempertahankan wilayah Indonesia sebagai antisipasi jika terjadi penyerangan oleh pasukan Sekutu.
Namun, perwira PETA kerap direndahkan oleh Jepang. Para anggota PETA juga menyaksikan kesengsaraan rakyat akibat kerja paksa (Romusha) Jepang. Penderitaan rakyat ini menumbuhkan simpati dan rasa nasionalisme di hati para tentara PETA di Blitar.
Sejak bulan September 1944, sudah digelar berbagai pertemuan rahasia. Shodancho Supriyadi menyusun rencana revolusi yang bertujuan mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Shodancho Suparjono juga kerap mengajak bawahannya untuk menyanyikan Indonesia Raya dan Di Timur Matahari. Sedangkan Shodancho Partoharjono mengibarkan bendera merah putih di sebuah lapangan besar pada 14 Februari 1945.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, pada 14 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dan pasukannya mulai melawan tentara Jepang. Mereka menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para perwira militer Jepang. Namun, bangunan tersebut ternyata sudah dikosongkan karena rencana pemberontakan tersebut telah diketahui oleh Jepang.
Jepang mengirimkan pasukan militer untuk menghentikan pemberontakan PETA. Kekuatan tentara Jepang sulit untuk disaingi. Supriyadi beserta 67 orang lainnya berhasil ditahan dan kemudian diadili di depan Mahkamah Militer Jepang di Jakarta. Mereka ada yang dihukum seumur hidup dan dihukum mati, sementara nasib Supriyadi tidak diketahui.
(ERA)