Konten dari Pengguna

Perlawanan Rakyat Pada Masa Pendudukan Jepang, Kerap Berakhir Tragis

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
14 Agustus 2020 17:04 WIB
clock
Diperbarui 30 April 2021 10:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pasukan Jepang mencontohkan salam hormat kepada anak-anak Indonesia di sekitaran Pulau Jawa, 1942. Foto: timereem.com
zoom-in-whitePerbesar
Pasukan Jepang mencontohkan salam hormat kepada anak-anak Indonesia di sekitaran Pulau Jawa, 1942. Foto: timereem.com
ADVERTISEMENT
Jepang menguasai wilayah Indonesia pada tahun 1942-1945. Meski terbilang singkat, pendudukan Jepang justru membawa kesengsaraan pada rakyat Indonesia. Penguasa Jepang kala itu dikenal tidak kalah bringas dengan Belanda.
ADVERTISEMENT
Namun, rakyat Indonesa tidak tinggal diam. Akibatnya, perlawanan pun tidak dapat dihindarkan. Sejarah mencatat, terdapat beberapa perlawanan rakyat pada masa pendudukan Jepang. Berikut ulasannya:

Perlawanan di Singaparna (Tasikmalaya)

Rakyat Indonesia sedang melakukan seikerei. Seikerei adalah penghormatan setiap pagi pada Tenno Heika (Kaisar Jepang) dengan cara membungkuk ke arah Tokyo.(Konflik Bersejarah - Ensiklopedi Pendudukan Jepang (2013))
Di masa pendudukan Jepang, rakyat Singaparna dipaksa untuk mengikuti upacara Seikerei (upacara penghormatan kepada kaisar Jepang dengan cara membungkuk ke arah matahari terbit). Masyarakat Singaparna merasa sangat dipermalukan. Mereka juga enggan karena gerakan tersebut dianggap menduakan Tuhan yang mereka percayai.
Selain itu, rakyat Singaparna juga merasa menderita karena diperlakukan secara sewenang-wenang oleh Jepang. Stok makanan pun semakin sedikit karena dialokasikan untuk keperluan perang Jepang.
Akibatnya, pada bulan Februari 1944, rakyat Singaparna melakukan perlawanan terhadap Jepang. Mereka dipimpin oleh Kiai Zainal Mustofa. Namun, Jepang berhasil menangkap Kiai Zainal Mustofa pada tanggal 25 Februari 1944. Dan pada tanggal 25 Oktober 1944, ia dihukum mati.
ADVERTISEMENT

Pemberontakan PETA di Blitar

Supriyadi. Foto: Wikipedia
PETA (Pembela Tanah Air) merupakan kesatuan militer yang dibentuk Jepang di Indonesia. Jepang merekrut para pemuda Indonesia untuk dijadikan sebagai tentara teritorial guna mempertahankan wilayah Indonesia sebagai antisipasi jika terjadi penyerangan oleh pasukan Sekutu.
Namun, perwira PETA kerap direndahkan oleh Jepang. Para anggota PETA juga menyaksikan kesengsaraan rakyat akibat kerja paksa (Romusha) Jepang. Penderitaan rakyat ini menumbuhkan simpati dan rasa nasionalisme di hati para tentara PETA di Blitar.
Sejak bulan September 1944, sudah digelar berbagai pertemuan rahasia. Shodancho Supriyadi menyusun rencana revolusi yang bertujuan mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Shodancho Suparjono juga kerap mengajak bawahannya untuk menyanyikan Indonesia Raya dan Di Timur Matahari. Sedangkan Shodancho Partoharjono mengibarkan bendera merah putih di sebuah lapangan besar pada 14 Februari 1945.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, pada 14 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dan pasukannya mulai melawan tentara Jepang. Mereka menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para perwira militer Jepang. Namun, bangunan tersebut ternyata sudah dikosongkan karena rencana pemberontakan tersebut telah diketahui oleh Jepang.
Jepang mengirimkan pasukan militer untuk menghentikan pemberontakan PETA. Kekuatan tentara Jepang sulit untuk disaingi. Supriyadi beserta 67 orang lainnya berhasil ditahan dan kemudian diadili di depan Mahkamah Militer Jepang di Jakarta. Mereka ada yang dihukum seumur hidup dan dihukum mati, sementara nasib Supriyadi tidak diketahui.
(ERA)