Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Pola Lantai Tari Bedhaya dan Kisah di Baliknya
19 Mei 2022 9:35 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tari Bedhaya merupakan suatu tarian khusus yang dianggap sakral sebagai lambang kebesaran raja. Tarian ini adalah tari tradisional keraton yang sarat makna dan memiliki hubungan yang erat dengan upacara adat, religi, serta percintaan Raja Mataram dengan Kanjeng Ratu Kidul.
ADVERTISEMENT
Mengutip dari buku berjudul Pembelajaran Seni Tari di Indonesia dan Mancanegara oleh Arina Restian, nama Bedhaya Ketawang ini sendiri berasal dari kata bedhaya yang artinya “penari wanita di istana” dan ketawang berasal dari kata tawang yang artinya “langit” atau “mendung di langit”.
Ketawang melambangkan sesuatu yang tinggi, suci, dan tempat tinggal para dewa. Penarinya dilambangkan seperti letak bintang kalajengking yang jumlahnya tujuh hingga sembilan orang dengan menggunakan kostum yang senada. Menurut kepercayaan, Kanjeng Ratu Kidul akan hadir dan ikut menari sebagai penari ke-10. Lalu, bagaimana pola lantai tari Bedhaya Ketawang? Berikut penjelasannya.
Makna Pola Lantai Tari Bedhaya
Sama halnya dengan tarian lainnya, tari Bedhaya Ketawang memiliki pola lantainya tersendiri. Pola lantai tari Bedhaya Ketawang menggunakan pola lantai gawang monitor mabur, gawang jejer wayang, gawang urut kacang, gawang kalajengking, gawang perang, dan gawang tiga-tiga.
ADVERTISEMENT
Pola lantai pada tari Bedhaya Ketawang dikenal juga dengan nama rakit lajur yang menggambarkan lima unsur yang ada pada diri manusia, yakni cahaya, rasa, sukma, nafsu, dan perilaku.
Sebagai tarian yang sakral, terdapat syarat yang harus dipenuhi oleh setiap penarinya, yakni kesembilan penari harus merupakan seorang gadis suci dan tidak sedang haid atau menstruasi. Jika sedang menstruasi, maka penari tersebut harus meminta izin terlebih dulu kepada Kanjeng Ratu Kidul dengan melakukan caos dahar di panggung Sangga Buwana di Keraton Surakarta.
Hal ini dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pertunjukan. Saat latihan dimulai, Kanjeng Ratu Kidul akan datang jika ada penari yang gerakannya masih kurang benar.
Koreografi Tari Bedhaya Ketawang
Mengutip buku Kagunan Sekar Padma: Kontinuitas dan Perkembangan Kesenian Tradisional di Yogyakarta Awal Abad XX oleh Indra Fibiona dan Darto Harnoko, koreografi tari Bedhaya Ketawang diiringi oleh Sinden dan musik gamelan, disusun dengan sangat hati-hati berdasarkan arahan penguasa (putra mahkota) untuk acara-acara penting di istana.
ADVERTISEMENT
Perhatian yang cermat mengenai koreografi dan iringan musik tersebut menunjukkan betapa pentingnya fungsi ritual dari bentuk seni. Koreografi yang panjang dan kompleks, juga musik gamelan dan para Sinden membutuhkan kekompakan permainan seniman yang perlu latihan secara teratur agar selaras satu sama lain.
Pagelaran pertunjukan besar seperti itu pada awalnya memang hanya terdapat di Keraton Surakarta atau Keraton Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu, pertunjukan tersebut mulai diadaptasi oleh pejabat tinggi di Kadipaten.
Tarian Bedhaya yang paling tua dan dianggap paling sakral adalah Tari Bedhaya Ketawang Surakarta. Sebab, tari inilah yang kemudian menjadi tarian yang menginspirasi semua bentuk koreografi Bedhaya baik di Surakarta hingga Yogyakarta. Hal ini dikarenakan adanya pernikahan antar keluarga keraton, sehingga para mempelai membawa seniman pendherek yang menyertainya.
ADVERTISEMENT
Kisah di Balik Tari Bedhaya Ketawang
Dikutip dari buku yang sama karangan Indra Fibiona dan Darto Harnoko, tarian ini mengisahkan tentang Ratu Kidul yang secara kebetulan bertemu dengan Sultan di pantai, perbatasan antara Kerajaan Mataram Yogyakarta dengan Kerajaan Nyi Roro Kidul. Sultan Mataram dan Kanjeng Kidul saling tertarik satu sama lain.
Kemudian, Sultan mengikuti Sang Ratu Kidul menuju istananya yang berada di dasar laut. Mereka hidup bersama selama beberapa waktu, hingga datanglah roh Sunan Kalijaga yang menasihati Sultan bahwa pengantinnya itu (Ratu Kidul) sebenarnya bukanlah seorang manusia.
Sebab, kecantikannya yang abadi seperti bulan dan sempurna pada saat bulan purnama seperti gadis muda. Pada saat itu, Ratu Kidul bertemu dengan Sultan bertepatan dengan malam bulan purnama, sehingga Sultan terpesona dengan paras kecantikan Ratu.
ADVERTISEMENT
Sunan Kalijaga kemudian menyadarkan Sultan Agung dan memberi nasihat untuk tetap melaksanakan amanah, yakni mengemban tugas mengayomi rakyat dan kerajaannya yang telah diabaikan karena terpikat dengan Ratu Kidul.
Pada akhirnya, Sultan Agung kemudian meninggalkan Ratu Kidul. Namun Sang Ratu akan selalu melindungi Sultan Agung dan keturunannya, kapan pun Kerajaan Mataram berada dalam bahaya.
Itulah penjelasan mengenai pola lantai tari Bedhaya dan bagaimana kisah di balik tarian tersebut.
(IMR)