Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Konten dari Pengguna
Sejarah Peristiwa Tahkim antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah
23 November 2022 14:07 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Ilustrasi peristiwa Tahkim. Foto: Pixabay](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01gjh9kdbbf9w4jvp1yw23c3ee.jpg)
ADVERTISEMENT
Menurut istilah, peristiwa tahkim dimaknai sebagai persetujuan antara kedua belah pihak yang berselisih untuk menerima keputusan tertentu dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
ADVERTISEMENT
Peristiwa tahkim yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah memegang peranan penting dalam sejarah politik pemerintahan Islam. Meski ditujukan sebagai perdamaian, kejadian tersebut mengakibatkan berbagai hal yang dinilai merugikan Ali beserta rakyatnya.
Sebelum diputuskannya tahkim antara Ali dan Mu’awiyah, keduanya telah beberapa kali berperang. Bagaimana kisahnya? Berikut sejarah singkat tentang peristiwa tahkim yang dapat Anda simak.
Peristiwa Tahkim
Pasca wafatnya Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib merupakan kandidat terkuat untuk menjadi khalifah berikutnya. Namun, pengukuhannya menjadi khalifah tidak semulus tiga khalifah sebelumnya.
Mengutip buku Peristiwa Tahkim (Polemik Perselisihan Politik dan Implikasinya) tulisan Miftahur Ridho, sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW tersebut dibai’at di tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman. Belum lagi adanya pertentangan dan kekacauan politik serta kebingungan yang terjadi di kalangan umat Islam Madinah.
ADVERTISEMENT
Situasi tersebut membuat banyak pihak menentang Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman bin Affan. Salah satu yang menolak adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, keluarga Utsman yang merupakan Gubernur Syam. Ia tidak setuju karena menurutnya Ali adalah orang yang mendalangi pembunuhan Utsman.
Perang pun terjadi beberapa kali di antara kedua pihak. Hingga puncaknya, angkatan perang Ali dan pasukan Mu’awiyah kembali berperang di kota tua Siffin, dekat sungai Eufrat pada tahun 37 H.
Dalam perang tersebut, pihak Mu’awiyah sebenarnya sudah terdesak dan hampir kalah. Namun, mereka akhirnya mengangkat Alquran sebagai tanda damai dengan cara tahkim. Tawaran perdamaian itu diterima oleh Ali demi mencegah semakin banyak korban yang jatuh.
Mengutip buku The Great Sahaba oleh Rizem Aizid, Abu Musa al-Asy’ari dipilih sebagai utusan perdamaian dari pihak Ali bin Abi Thalib. Sedangkan, utusan dari pihak Mu’awiyah adalah Amr bin Ash.
ADVERTISEMENT
Kedua perwakilan tersebut kemudian bertemu pada bulan Ramadhan. Setelah berunding, mereka sepakat untuk mencopot kedua pemimpin dari jabatannya masing-masing. Ali dicopot dari kedudukannya sebagai khalifah dan Mu’awiyah dari posisinya sebagai pemimpin.
Abi Musa yang pada dasarnya mengakui bahwa Ali bin Abi Thalib berada di pihak yang setuju untuk mencopot Ali dari kekhalifahannya agar pertentangan kedua pihak berakhir dan umat Islam kembali bersatu. Ia menghendaki agar umat Islam memilih sendiri pemimpinnya secara demokratis.
Sayangnya, ketulusan Abu Musa itu justru dimanfaatkan oleh Amr bin Ash. Saat hasil tahkim diumumkan, Amr yang tadinya setuju untuk menurunkan Mu’awiyah dari kepemimpinannya malah menetapkan Mu’awiyah sebagai khalifah.
Setelah peristiwa tahkim. kaum Muslimin pun terpecah menjadi tiga kelompok. Penduduk Irat tetap pada bai’at mereka terhadap Ali, penduduk Syam membai’at Mu’awiyah, sedangkan kelompok ketiga adalah kaum Khawarij, kelompok Ali yang membelot lantaran tidak setuju dengan sikap Ali yang menyetujui tahkim.
ADVERTISEMENT
Berbagai upaya perdamaian telah dilakukan, tetapi peperangan tetap tidak terhindarkan. Kaum Khawarij baru justru bermunculan sehingga kekuatan dan kekuasaan Ali bin Abi Thalib perlahan melemah.
Hingga akhirnya khalifah keempat Kekhalifahan Rasyidin tersebut meninggal terbunuh di usia 62 atau 63 tahun. Pelakunya adalah seorang Khawarij bernama Abdurrahman Muljam. Ia memukul kepala Ali dengan pedang yang dilapisi racun saat sholat Subuh di Masjid Agung Kufah.
(ADS)