Konten dari Pengguna

Sejarah Perlawanan Rakyat Aceh Melawan Belanda Tahun 1873-1904

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
3 Januari 2021 17:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masjid Raya Baiturrahman, Aceh. Foto: ANTARA FOTO / Irwansyah Putra
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Raya Baiturrahman, Aceh. Foto: ANTARA FOTO / Irwansyah Putra
ADVERTISEMENT
Aceh menjadi wilayah Nusantara terakhir yang jatuh ke tangan Belanda. Ini karena para penjajah kelabakan menghadapi perlawanan pejuang-pejuang Aceh yang tangguh dan sudah terkenal memiliki kekuatan militer yang tidak dapat dipandang sebelah mata.
ADVERTISEMENT
Sejarah mencatat Belanda baru menyatakan perang dengan Aceh pada tahun 1873. Padahal Aceh adalah wilayah merdeka yang tidak boleh dilanggar kedaulatannya. Berikut ini adalah latar belakang, jalannya perlawanan, dan akhir dari Perang Aceh.

Latar Belakang Perang Aceh Melawan Belanda

Dalam Trakat London yang dibuat oleh Belanda dan Inggris pada 1824, disebutkan bahwa Belanda harus menjamin keamanan perairan Aceh tanpa mengganggu kemerdekaan Aceh.
Namun Belanda hendak menjadikan Sumatera sebagai lahan tambahan baru untuk menggendutkan kas kerajaan. Apalagi daerah Aceh cukup luas dan memiliki hasil penting seperti lada, hasil tambang, serta hasil hutan.
Selain itu, setelah terusan Suez dibuka pada 1869 kedudukan Aceh menjadi penting terutama dalam hal perdagangan karena jarak antara negeri Belanda dan Indonesia makin berkurang.
ADVERTISEMENT
Akhirnya Belanda dan Inggris menandatangani sebuah perjanjian yang dikenal sebagai Traktat Sumatera pada 2 November 1871. Isinya adalah “Yang Mulia Ratu Britania (Inggris) tidak lagi keberatan atas semua perluasan dari Kerajaan Belanda di semua bagian Pulau Sumatera”.
Pada 1873 pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengirim ultimatum kepada Sultan Mahmud Syah II agar menyerah dan tunduk di bawah pemerintahan Hindia Belanda.
Namun ultimatum tersebut ditolak oleh rakyat Aceh sehingga Belanda mengirim ekspedisi militer ke Aceh di bawah pimpinan Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler.
Jenderal Kohler. Foto: Wikipedia

Jalannya Perlawanan Rakyat Aceh

Aceh sudah melakukan beberapa persiapan untuk menghadapi perang ini. Misalnya membangun pos-pos pertahanan, peningkatan jumlah pasukan, dan pasokan senjata.
Tentara Belanda menginjakkan kaki di Serambi Mekah pada tanggal 5 April 1873. Pasukan Aceh yang terdiri atas para ulebalang, ulama, dan rakyat tidak mudah ditundukkan.
ADVERTISEMENT
Pasukan Aceh dibawah pimpinan Teuku Imeum Lueng Bata kemudian melawan tentara Belanda pimpinan Kohler untuk memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman. Dalam pertempuran tersebut, Kohler terbunuh.
Dengan demikian gagal-lah serangan tentara Belanda yang pertama. Kemudian pada 9 Desember 1873 Belanda melakukan serangan yang kedua dipimpin oleh J. van Swieten. Masjid Raya Baiturrahman dan Istana Sultan jatuh ke tangan Belanda.
Meski demikian, rakyat Aceh tidak menyerah begitu saja. Di seluruh Aceh dikobarkan Perang Sabilillah. Para pemimpin perang antara lain adalah Tengku Cik Di Tiro, Panglima Polim, dan Tuanku Hasyim.
Gerakan pasukan Teuku Umar juga banyak berpengaruh pada jalannya perlawanan. Setelah Teuku Umar gugur pada 1899, perlawanan dilanjutkan Cut Nyak Dien. Tokoh lainnya yang berperan dalam Perang Aceh adalah Habib Abdurrahman, Teungku Mahyidin Tiro, dan Cuk Nyak Mutia.
Teuku Umar. Foto: rindamiskandarmuda.mil.id

Berakhirnya Perang Aceh

Serangan Belanda makin brutal. Satu per satu pemimpin perlawanan rakyat Aceh menyerah atau terbunuh. Teuku Umar terdesak ke Meulaboh dan akhirnya gugur pada tahun 1899.
ADVERTISEMENT
Panglima Polim menyerah pada tahun 1903, demikian pula dengan Sultan Muhamad Daudsyah. Cut Nyak Dien tertangkap pada tahun 1906 lalu dibuang ke Sumedang, sementara Cut Mutia gugur.
Jatuhnya Benteng Kuto Reh pada tahun 1904 memaksa Aceh harus menandatangani Perjanjian Singkat yang dikeluarkan oleh Van Heutsz. Isi dari perjanjian tersebut adalah:
(ERA)