Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Sejarah Pertentangan Sultan Hamid II di Era Pemerintahan Soekarno
29 Juni 2020 16:59 WIB
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pada akhir tahun 1949, Sultan Hamid II merancang lambang negara Indonesia. Rancangan tersebut dilakukan setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) melalui KMB di Belanda. 10 Januari 1950, pemerintah RIS memerintahkan Sultan Hamid II untuk membentuk Panitia Lencana Negara atau Panitia Lambang.
Dalam proses pembentukannya, ia dibantu oleh M. Natsir yang mengusulkan simbol bintang sebagai perwujudan sila pertama Pancasila. Tak hanya M. Natsir, tokoh-tokoh lain juga memberikan usulan.
Seperti Palaupessi yang mengusulkan tentang jumlah bulu ekor burung garuda yang disesuaikan dengan tanggal kemerdekaan Indonesia. Kemudian Ki Hadjar Dewantara membuat Sketsa dari figur garuda sendiri berdasarkan relief candi-candi di Jawa.
Dullah, sang pelukis istana kemudian membuat sketsa ulang hasil rancangan Sultan Hamid II dan tim panitia setelah diterima oleh Soekarno pada 10 Februari 1950. Pada 11 Februari 1950, Garuda Pancasila ditetapkan sebagai lambang negara Indonesia.
ADVERTISEMENT
Nama Sultan Hamid II mulai tercoreng saat ia menjadi satu-satunya menteri dari Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) yang tadinya lebih mendukung dan menjadi tangan kanan Belanda.
Namanya juga tercoreng karena keterlibatannya dengan pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh Raymon Westerling. Pada 23 Januari 1950, APRA melakukan penyerangan terhadap tentara di Bandung dengan 800 pasukan. Sebanyak 500 di antaranya adalah anggota APRA.
Hubungan Westerling dengan Soekarno bisa dibilang tidak baik. Pasalnya, pada 22 Desember 1949, ia tak setuju Soekarno menjadi presiden RIS. Bahkan setelah serangan di Bandung, Westerling bersama Sultan Hamid II menyusun rencana untuk menyerang sidang Kabinet RI di Jakarta Pusat pada tanggal 24 Januari 1950.
ADVERTISEMENT
Sultan Hamid II ditangkap dan dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, Jawa Timur, pada Maret 1962. Hal tersebut karena ia dituduh melakukan makar dan membentuk organisasi illegal bernama Vrijwillige Ondergrondsche Corps (VOC).
Kabarnya, persiapannya dilakukan bersama sejumlah tokoh saat mereka berada di Gianyar, Bali. Saat itu mereka hendak menghadiri upacara ngaben ayah dari Ide Anak Agung Gde Agung.
Kemungkinan tuduhan makar terhadap Sultan Hamid II disebabkan pergunjingan orang-orang di sekitar Soekarno, dan bukan berangkat dari fakta. Selama empat tahun Sultan Hamid II ditahan tanpa proses pengadilan karena tunduhan itu. Ia baru dibebaskan tahun 1966 setelah era Soekarno berakhir.
Bebas dari penjara, Sultan Hamid II terjun ke dunia bisnis. Ia kemudian menjadi Presiden Komisaris di PT Indonesia Air Transport (IAT) sejak 1967 hingga 1978.
ADVERTISEMENT
(AYA)