Konten dari Pengguna

Siapa Keluarga Istri yang Jadi Mahram Suami? Ini Penjelasannya Menurut Ulama

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
17 Januari 2022 17:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi keluarga Muslim. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keluarga Muslim. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Islam mengenal istilah mahram sebagai orang yang haram untuk dinikahi karena sebab keturunan, persusuan, dan pernikahan. Ada yang bersifat selamanya (mahram muabbad) dan ada juga yang hanya sementara (mahram mu’aqat).
ADVERTISEMENT
Mengutip buku Keluarga Istri yang Jadi Mahram untuk Suaminya karya Aini Aryani, Lc., orang yang masuk dalam kategori mahram muabbad tidak boleh dinikahi karena sebab apapun. Misalnya, seorang anak perempuan yang haram menikahi ayah kandungnya sampai selama-selamanya.
Sedangkan kategori mahram mu’aqat haram dinikahi sementara karena ada satu sebab yang melarang. Misalnya, seorang wanita yang haram menikahi abang iparnya selama masih ada hubungan pernikahan dengan kakak perempuannya.
Saat sudah menikah, siapa sajakah keluarga istri yang jadi mahram suami? Untuk mengetahuinya, simak penjelasannya dalam artikel berikut.

Keluarga Istri yang Jadi Mahram Suami

Ada tiga golongan keluarga istri yang jadi mahram suami, di antaranya ibu mertua, anak perempuan istri, dan menantu perempuan. Dirangkum dari buku 30 Masalah Penting Seputar Fiqih Muslimah oleh Aini Aryani, Lc., berikut penjelasan lengkapnya:
Ilustrasi pasangan suami istri berhubungan intim Foto: Shutterstock
1. Ibu mertua (orang tua istri)
ADVERTISEMENT
Ulama empat madzhab fiqih, yakni Al-Hanafiyyah, As-Syafi’iyyah, Al-Malikiyyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa kemahraman antara seorang laki-laki dengan ibu mertuanya bisa terjadi jika ia dan istrinya pernah berhubungan intim dengan sah.
Ulama madzhab Hanafi menambahkan, jika seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita, pernah menyentuhnya, mencium, ataupun melihat kemaluannya dengan syahwat, semua perbuatan itu akan menjadikannya mahram mu’abbad dengan ibu wanita tadi.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang melihat kemaluan seorang wanita maka tidak halal baginya (untuk menikahi) ibu wanita itu, juga tidak pula (boleh menikahi) anak perempuan dari wanita tersebut.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
2. Anak perempuan istri
Anak perempuan istri yang dimaksud dalam poin ini adalah anak tiri. Sama seperti poin sebelumnya, syarat terjadinya kemahraman adalah jika ia dan istrinya sudah berhubungan intim secara sah.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, jika setelah menikah dengan akad nikah yang sah ternyata mereka belum pernah berhubungan intim, kemudian setelah itu bercerai, maka laki-laki itu boleh menikahi anak perempuan dari mantan istrinya itu.
3. Menantu perempuan
Pihak yang dimaksud dalam poin ini adalah istri dari anak laki- laki atau istri dari cucu laki-laki. Seorang laki-laki menjadi mahram mu'abbad bagi menantu wanitanya.
Ulama fikih dari empat mazhab mengatakan bahwa kemahraman ini tidak mensyaratkan terjadinya hubungan suami-istri. Begitu anak lelakinya menjalani akad nikah yang sah dengan seorang wanita, dirinya dan istri dari anaknya (menantu) telah menjadi mahram mu'abbad. Bahkan, walaupun nanti anak dan menantunya tak lagi dalam ikatan pernikahan karena perceraian maupun kematian.
ADVERTISEMENT
Misalnya, A punya anak lelaki bernama B. Suatu saat B menikah dengan C. Maka saat akad nikah yang sah telah terjadi, pada saat itu pula terjadi kemahraman mu'abbad antara A dan C.
Bahkan, walaupun suatu saat nanti B dan C tak lagi menjadi suami-istri, baik karena perceraian ataupun kematian, maka A tidak boleh menikah dengan C.
(MSD)