Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Tradisi Acara 7 Bulanan Adat Jawa yang Sudah Diwariskan Sejak Dulu
17 Maret 2022 17:59 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Acara 7 bulanan adat Jawa atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Tingkeban” merupakan tradisi yang sudah diwariskan sejak dulu. Sesuai dengan namanya, acara ini diselenggarakan ketika seorang ibu sedang mengandung 7 bulan.
ADVERTISEMENT
Dijelaskan oleh Gesta Bayuadhi dalam buku Tradisi-tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa (2015), hakikat dari tingkeban adalah mendoakan calon bayi dan calon ibu agar selamat sampai hari persalinan. Masyarakat Jawa meyakini upacara adat ini bisa menjauhkan ibu dan calon bayi dari marabahaya.
Di acara 7 bulanan adat Jawa, sejumlah ritual akan diselenggarakan. Mulai dari tradisi memandikan ibu hamil dengan kembang 7 rupa, membuat rujak dengan 7 macam buah-buahan, dan lain sebagainya.
Umumnya, acara 7 bulanan diselenggarakan pada Rabu Wage ataupun Sabtu Wage. Bagaimana sejarah dan tradisinya? Simak informasi selengkapnya berikut ini.
Sejarah dan Tradisi Acara 7 Bulanan Adat Jawa
Secara historis, upacara tingkeban sudah menjadi tradisi yang diwariskan secara turun-menurun. Mulanya, tradisi ini dijalankan oleh masyarakat yang hidup di masa Kerajaan Kediri di bawah pemerintahan Raja Jayabaya.
Acara 7 bulanan ini kental dengan adat Hindu-Budha. Pada masa kuno, pelaksanaan tingkeban dilengkapi dengan sejumlah ritual yang perlu dilakukan secara berurutan.
ADVERTISEMENT
Ibu hamil biasanya tidak boleh bercampur dengan suaminya sampai 40 hari sesudah persalinan. Ia juga dilarang bekerja terlalu berat untuk menghindari hal-hal buruk yang tidak diinginkan.
Dalam upacara tingkeban, biasanya diadakan pengajian khusus dengan membaca Surat Yusuf, Lukman, dan Maryam. Di samping itu, dipersiapkan pula peralatan untuk memandikan ibu hamil dengan kembang 7 rupa.
Dijelaskan dalam buku Dukun dan Bidan dalam Perspektif Sosiologi karya Muzakkir, ibu yang sedang hamil tadi dimandikan oleh 7 keluarga dekat yang dipimpin seorang paraji. Dalam proses pemandiannya, ia menggunakan 7 lembar kain batik yang dipakai secara bergantian di setiap guyuran.
Pada guyuran ketujuh, dimasukkan belut sampai mengenai perut ibu hamil. Hal ini dimaksudkan agar bayi di dalam kandungan bisa lahir dengan lancar tanpa hambatan.
Bersamaan dengan jatuhnya belut, kelapa gading yang telah digambari tokoh wayang oleh suaminya dibelah dengan golok. Hal ini dimaksudkan agar bayi dan orangtua dapat berbuat baik lahir dan batin layaknya keadaan kelapa gading yang airnya bersih dan manis.
ADVERTISEMENT
Sesudah dimandikan, biasanya ibu hamil akan didandani dan dibawa menuju ke tempat rujak kanistren yang sebelumnya sudah dipersiapkan. Kemudian, sang ibu menjual rujak tersebut kepada anak-anak dan tamu yang hadir.
Mereka membelinya dengan menggunakan talawengkar, yaitu genteng yang sudah dibentuk bundar seperti koin. Saat si ibu hamil menjual rujak, suaminya membuang sisa peralatan mandi seperti air sisa dalam jajambaran, belut, bunga, dsb.
Semuanya itu harus dibuang di jalan simpang cempat atau simpang tiga. Setelah rujak kanistren habis terjual, selesailah serangkaian upacara adat tingkeban.
Meski tidak semua daerah menjalankan tradisi yang sama, upacara tingkeban ini tetap dijalankan oleh masyarakat Jawa. Hal umum yang sering ada dalam acara 7 bulanan adat jawa ini yaitu selametan, pengajian, dan pembuatan rujak kanistren.
ADVERTISEMENT
(MSD)