Orientalis dan Revisionis

Institut Daarul Quran
Institut Daarul Quran (Idaqu) merupakan wujud komitmen Daarul Quran dalam mengembangkan dunia pendidikan untuk menyiapkan generasi masa depan yang tangguh dan profesional.
Konten dari Pengguna
9 Desember 2022 16:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Institut Daarul Quran tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Muhammad Asgar Muzakki, sumber dokumentasi Idaqu
zoom-in-whitePerbesar
Muhammad Asgar Muzakki, sumber dokumentasi Idaqu
ADVERTISEMENT
Mengenal Islamis dan Orientalis
Berbeda dengan istilah muslim yang disematkan kepada mereka yang mau belajar Islam secara sungguh-sungguh dan siap sami’na wa atha’na, Islamis merupakan label yang diberikan kepada mereka yang mengkaji Islam sebagai bahan studi.
ADVERTISEMENT
Apa konsekuensi dari sebuah studi Islam? Sakralitas Islam menjadi parsial, karena bakal banyak ditemukan kritik baik terhadap tokoh maupun pemahaman-pemahamannya, khususnya yang bertentangan dengan weltanschauung si pengkaji.
Apakah salah? Nggak juga. Segala tabu dan tradisi yang membatasi rasa ingin tahu manusia terbukti selalu gagal dan menjadi bumerang di lintas zaman
Orientalis berasal dari kata oriental yang artinya timur atau budaya ketimuran
Maka galibnya, label orientalis disematkan kepada masyarakat Barat atau cendekiawan yang belajar di Barat, yang ingin mendalami tradisi dan budaya Timur. Garis tebal disini, karena kebanyakan dari mereka seorang agnostik dan ateis, agama pun termasuk dalam kategori tradisi
Apakah Orientalis = Revisionis?
Di era Goldziher dan Schacht dulu, studi terhadap Islam barangkali masih didominasi spirit keagamaan. Sehingga kritik mereka terhadap kredo agama lain terbilang kurang fair
ADVERTISEMENT
Orientalis dengan kritik yang agresif tersebut akhirnya mendapat kritikan dari sesame orientalis yang datang setelahnya
Mengutip Fazlurrahman; mereka ini disebut dengan revisionis.
Mazhab Skeptisisme
Satu hal yang jarang dimiliki seorang muslim adalah rasa ragu terhadap kebenaran agamanya. Maka sedikit dari Umat Islam yang melakukan kritik/revisi terhadap agamanya.
Sebaliknya, masyarakat Barat yang tidak dirintangi bumper iman bisa memberikan kritik dari yang membangun sampai yang paling pedas dan tajam, karena memang kajian mereka dibangun dari rasa skeptis.
Selama belum ditemukan data faktual, bukti empiris, dan atau teori yang bisa dibuktikan, agama pun harus mendapat perlakuan yg sama
Skeptisisme juga memegang teguh prinsip historical uncertainty (ketidakpastian sejarah)
Bahwa selama di satu masa ada sebuah hegemoni baik dari penguasa ataupun golongan tertentu, maka merekalah yang punya kekuatan untuk menentukan mana yang benar, mana yg salah?
ADVERTISEMENT
Atau dengan ungkapan yang lebih agresif, kebenaran sejarah ada di tangan para pemenang
Nahasnya, teori ini terbukti juga dalam bentangan panjang sejarah Islam.
Garis tebal disini, rasa ragu tidak melulu buruk. Dengan ragu dan tidak yakin, seseorang bakal mencari tahu
Beberapa kajian islam dari cendekiawan Barat terbukti memberikan kiritk yang fair dan moderat
Hasil kajian mereka kuat pondasinya karena tidak dibarengi sifat apologi yang biasa ada di kalangan internal umat Islam
Dari sini muncul superioritas istilah iman karena pencarian lebih baik daripada iman karena warisan.
Kajian Hadis di Barat
Karena berangkat dari skeptisisme tadi, tidak ada hadis yang berhak dianggap bersambung 100% ke Nabi SAW sampai terbukti kebenarannya, termasuk koleksi Bukhari Muslim yang dianggap paling sahih sekalipun. Semuanya diuji ulang bukan dengan konsep jarh wa ta’dil yang menjadi mainstream kajian hadis internal umat islam.
ADVERTISEMENT
Untuk mencapai objektivitas yang paling mendekati kebenaran, tidak ada sikap menokohkan dalam mengkaji apapun. Bukhari tidak didahului dengan Imam. Nama para sahabat dan ulama tidak diikuti dengan pujian radhiyallah atau rahimahullah. Kata ganti tidak menggunakan beliau.
Arus utama kajian tafsir di barat adalah kritik terhadap pemahaman, sedangkan mainstream kajian hadisnya adalah kritik terhadap sumber dan otentisitas smua riwayat hadis.
Hal ini masuk akal, karena trend pembukuan hadis baru muncul 300 tahun setelah Nabi SAW wafat.
Terlalu banyak distorsi dan campur tangan penguasa dalam penulisan hadis-hadis Nabi yang tercecer tersebut.
Tidak ada otoritas generasi terbaik (sahabat dan tabi’in). Karena mereka tetaplah manusia yang punya ambisi dan bias.
Para orientalis juga tidak bisa diberikan jawaban-jawaban keimanan yang sirkular
ADVERTISEMENT