Konten dari Pengguna

Sejarah Lahirnya Tulisan Jawa Hanacaraka

Berita Terkini
Penulis kumparan
13 Januari 2022 15:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Terkini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://flickr.com/photos/frontpersatuannasional/ - tulisan jawa hanacaraka
zoom-in-whitePerbesar
https://flickr.com/photos/frontpersatuannasional/ - tulisan jawa hanacaraka
ADVERTISEMENT
Anda mungkin mengenal tulisan Jawa Hanacaraka sebagai salah satu aksara yang digunakan untuk berkomunikasi dalam sastra Jawa sudah sejak lama.
ADVERTISEMENT
Menurut buku Sejarah SMA/MA Kelas XI - Bahasa, perkembangan tulisan ini terjadi pada abad ke-10. Namun, apakah Anda sudah tahu bagaimana sejarah dan asal mula lahirnya aksara Jawa Hanacaraka tersebut?

Sejarah Lahirnya Tulisan Jawa Hanacaraka

Dahulu kala, di sebuah kerajaan Medhangkamulan, bertahtalah seorang raja bernama Dewata Cengkar yang juga terkenal dengan nama Prabu Dewata Cengkar. Seorang raja yang sangat rakus, bengis, tamak, dan suka memakan daging manusia. Karena kegemarannya memakan daging manusia, maka secara bergilir rakyatnya pun dipaksa menyetor upeti berwujud manusia.
Mendengar kebengisan Prabu Dewata Cengkar, seorang pengembara bernama Aji Saka bermaksud menghentikan kebiasaan sang raja. Aji Saka mempunyai 2 orang abdi yang sangat setia bernama Dora dan Sembada.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanannya,­ Aji Saka mengajak Dora, sedangkan Sembada tetap di tempat karena harus menjaga sebuah pusaka sakti milik Aji Saka. Aji Saka berpesan kepada Sembada, agar jangan sampai pusaka itu diberikan kepada siapapun kecuali aku (Aji Saka).
Setelah beberapa waktu, sampailah Aji Saka di kerajaan Medhangkamulan yang sepi. Rakyat di kerajaan itu takut keluar rumah, karena takut menjadi santapan lezat sang raja yang bengis. Aji Saka segera menuju istana dan menjumpai sang patih. Dia berkata kalau dirinya sanggup dan siap dijadikan santapan Prabu Dewata Cengkar.
https://flickr.com/photos/131257913@N06/
Tibalah pada hari saat Aji Saka akan dimakan oleh Prabu Dewata Cengkar. Sebelum dimakan, sang prabu selalu mengabulkan 1 permintaan dari calon korban. Aji Saka dengan tenang hanya meminta tanah seluas syurban kepalanya. Mendengar permintaan Aji Saka, Prabu Dewata Cengkar tertawa terbahak-bahak,­ dan langsung menyetujuinya.
ADVERTISEMENT
Maka dibukalah kain syurban penutup kepala Aji Saka. Aji Saka memegang salah satu ujung syurban, sedangkan yang lain dipegang oleh Prabu Dewata Cengkar. Aneh, ternyata syurban itu seperti mengembang sehingga Dewata Cengkar harus berjalan mundur, mundur, dan mundur hingga sampai di tepi pantai selatan.
Saat Dewata Cengkar sampai di tepi pantai selatan, Aji Saka dengan cepat mengibaskan syurbannya sehingga membungkus badan Dewata Cengkar, dan menendangnya hingga terjebur di laut selatan. Tiba-tiba saja tubuh Dewata Cengkar berubah menjadi buaya putih. “Karena engkau suka memakan daging manusia, maka engkau pantas menjadi buaya, dan tempat yang tepat untuk seekor buaya adalah di laut” demikian kata Aji Saka.
Sejak saat itu, Kerajaan Medhangkamulan dipimpin oleh Aji Saka. Seorang raja yang arif dan bijaksana. Tiba-tiba Aji Saka teringat akan pusaka saktinya, dan menyuruh Dora untuk mengambilnya. Namun Sembada tidak mau memberikan pusaka itu, karena teringat pesan Aji Saka. Terjadilah pertarungan yang hebar diantara Dora dan Sembada. Karena memiliki ilmu dan kesaktian yang seimbang, maka meninggallah Dora dan Sembada secara bersamaan.
ADVERTISEMENT
Aji Saka yang teringat akan pesannya kepada Sembada, segera menyusul. Namun terlambat, karena sesampai di sana, kedua abdinya yang sangat setia itu sudah meninggal dunia.
Untuk mengenang keduanya, maka Aji Saka mengabadikannya­ dalam satu tulisan, aksara / huruf yang bunyi dan tulisannya :
Ha Na Ca Ra Ka (ono utusan = ada utusan)
Da Ta Sa Wa La (padha kekerengan = saling berkelahi)
Pa Da Ja Ya Nya (padha digdayane = sama-sama saktinya)
Ma Ga Ba Tha Nga (padha nyunggi bathange = saling berpangku saat meninggal).
Demikian sejarah singkat lahirnya tulisan Jawa Hanacaraka. (DNR)