Konten dari Pengguna

Kisah di Balik Patung Mesir Kuno yang Kehilangan Hidung

25 Agustus 2020 9:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Unik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Topeng kematian Firaun Tutankhamun dari dinasti ke-18 Mesir Kuno. Foto: Roland Unger via Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Topeng kematian Firaun Tutankhamun dari dinasti ke-18 Mesir Kuno. Foto: Roland Unger via Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ada yang unik jika kita memperhatikan patung-patung yang dibangun pada zaman Mesir Kuno. Hampir seluruh patung tersebut kehilangan satu buah organ yang sama pada bagian wajah: hidung.
ADVERTISEMENT
Banyak orang akhirnya mempertanyakan hal aneh ini. Mengapa sebenarnya patung-patung zaman Mesir Kuno harus kehilangan hidung yang terlihat seperti dirusak paksa? Bagaimana kisah dibalik misteri unik ini?
Setidaknya itu adalah pertanyaan yang sering diterima oleh curator Museum Brooklyn di kota New York, Amerika Serikat, Edward Bleiberg. Akibatnya, Bleiberg pun melakukan penelitian ilmiah ihwal kejadian unik tersebut.
“Kerusakan yang konsisten pada patung menunjukkan bahwa hal ini memiliki tujuan tertentu,” ungkap Bleiberg ihwal permasalahan ini.
Patung Bust of Roman Nobleman, diperkirakan dibuat pada tahun 30 SM hingga 50 Masehi, kehilagan bagian hidung. Foto: Charles Edwin Wilbour Fund/Brooklyn Museum via Wikimedia Commons
Hasil penelitian tersebut akhirnya dikemas dan dipamerkan dalam sebuah pameran besar bertajuk ‘Striking Power: Iconoclasm in Ancient Egypt’ di kota New York.
Bleiberg berpendapat, masyarakat Mesir Kuno percaya bahwa patung, relief, atau gambar ikon lainnya berisi jiwa orang yang sudah meninggal atau esensi dari dewa mereka. Benda-benda tersebut ibarat portal penghubung antara dunia nyata dan dunia superatural, yang membutuhkan ritual agar benda bisa dirasuki roh tertentu.
ADVERTISEMENT
Mayoritas patung, relief, dan gambar ikon tersimpan di makam dan kuil. Pada awalnya, keturunan dari orang yang sudah meninggal memberi 'makan' leluhurnya dengan hadiah, perhiasan atau bahkan makanan sungguhan. Kemudian, manusia mulai mengirim persembahan kepada dewa dengan harapan mereka mendapat perlindungan dari dewa yang disembah.
Kepercayaan ini diyakini memberi kekuatan pada benda berhala tersebut. Untuk bisa menghilangkan kekuatannya, salah satu cara yang dilakukan adalah bertindak vandalisme dengan merusak patung atau relief.
Patung Sphinx merupakan simbol kekuasaan raja Mesir Kuno juga kehilangan bagian hidung. Foto: Carlo Allegri/REUTERS
“Bagian tubuh yang rusak tidak lagi dapat melakukan tugasnya, menjaga leluhur yang masih hidup di bumi,” jelas Bleiberg.
Patung tanpa telinga, ia tidak dapat mendengar penyembahnya. Patung tanpa tangan, ia tidak bisa menerima persembahan. Patung tanpa hidung, ia tidak dapat bernapas.
ADVERTISEMENT
Hal ini dinilai efektif 'membunuh' benda berhala tersebut. Para penjarah makam, kata Bleiberg, mungkin memotong salah satu bagian benda berhala yang bernilai itu untuk mencegah dirinya menerima kutukan atau balas dendam.
Mesir Kuno memiliki sejarah panjang soal perusakan seni yang mencitrakan manusia. Pada zaman prasejarah, misalnya, banyak mumi sengaja dirusak.
Ada hieroglif yang menawarkan instruksi mencakup pembakaran patung lilin untuk para prajurit yang berangkat perang dan surat keputusan Firaun yang mengancam akan menghukum bagi mereka yang akan bertindak di luar batas, seperti menghancurkan patung yang menyerupai mereka.
Kemudian, ketika agama Kristen datang, patung, relief, dan ikon dewa Mesir Kuno lainnya dirusak untuk mencegah setan-setan Pagan bangkit kembali.
“Pencitraan di ruang publik adalah cerminan dari siapa yang memiliki kekuatan untuk menceritakan kisah tentang apa yang terjadi dan apa yang harus diingat,” tambah Bleiberg.
ADVERTISEMENT
(EDR)