Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Peristiwa Kasus Tanjung Priok sebagai Contoh Pelanggaran HAM Berat
18 Maret 2022 17:24 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Berita Update tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Peristiwa Tanjung Priok merupakan salah satu contoh kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia. Bahkan peristiwa tersebut termasuk ke dalam pelanggaran HAM berat. Adapun dalam kasus Tanjung Priok terjadi pelanggaran HAM berat berupa penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang.
ADVERTISEMENT
Tragedi ini terjadi pada tanggal 12 September 1984 yang dilatarbelakangi oleh kerusahaan massa dari umat Islam dengan pemerintah Orde Baru sehingga menimbulkan banyak korban jiwa. Nah, Hak Asasi Manusia atau HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia dan sangat mustahil bagi manusia untukhidup tanpanya. HAM ini bersifat universal sehingga dimiliki oleh setiap orang tanpa memandang individunya.
Peristiwa Kasus Tanjung Priok sebagai Contoh Pelanggaran HAM Berat
Jadi, sudah jelas bahwa dalam kasus Tanjung Priok terjadi pelanggaran HAM berat berupa penangkapan massal dan penahanan sewenang-wenang. Mengutip dari buku Pelanggaran HAM dalam Hukum Keadaan Darurat di Indonesia karya Binsar Gultom (2013), disebutkan bahwa peristiwa Tanjung Priok merupakan tragedi kerusuhan terbesar yang terjadi pada masa pemerintahan Soeharto.
ADVERTISEMENT
Kerusuhan tersebut berawal dari cekcok yang terjadi antara Bintara Pembina Desa (Babinsa) dengan warga pada tanggal 10 September 1984. Pada saat itu, Babinsa meminta warga untuk mencopot spanduk dan brosur yang dianggap tidak bernapaskan Pancasila. Perlu Anda ketahui bahwa saat itu pemerintah Orde Baru melarang adanya paham-paham yang dianggap anti-Pancasila di tengah-tengah masyarakat.
Dua hari setelahnya spanduk tersebut belum juga dilepas oleh warga. Hingga akhirnya, petugas Babinsa langsung mencopotnya sendiri. Akan tetapi, pada saat yang sama ketika petugas Babinsa melakukan pencopotan, mereka dianggap melakukan pencemaran terhadap masjid oleh warga.
Kemudian pada tanggal 11 September 1984, beberapa warga meminta bantuan tokoh masyarakat agar kerusuhan ini bisa segera diselesaikan. Sayangnya, permintaan tersebut tidak ditanggapi. Hal inilah yang kemudian membuat permasalahan menjadi semakin besar dan puncaknya pada tanggal 12 September 1984, ada sekitar 1.500 orang mulai bergerak dan berakhir dengan kericuhan. Setidaknya ada 400 orang yang tewas dalam tragedi Tanjung Priok ini.
ADVERTISEMENT
(Anne)