Cerita Mengerikan dari Korban Selamat Kecelakaan Pesawat Merpati 30 Tahun Lalu

Berita Viral
Membahas isu-isu yang lagi viral
Konten dari Pengguna
14 Desember 2021 13:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Viral tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kecelakaan Pesawat Foto: pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kecelakaan Pesawat Foto: pixabay.
ADVERTISEMENT
Kecelakaan pesawat selalu menjadi musibah besar, mengingat jarang sekali ada korban yang selamat. Sekalipun selamat, korban biasanya memiliki cerita sendiri di balik mukjizat tersebut.
ADVERTISEMENT
Salah satu korban kecelakaan pesawat adalah Erwin Giasi. Dia selamat dalam peristiwa nahas jatuhnya pesawat Merpati di wilayah Gorontalo yang terjadi tiga dekade lalu.
Erwin mengungkapkan cerita mengerikan bagaimana kecelakaan yang membuatnya hampir mati usai 6 hari bertahan di dalam hutan.
Pesawat yang dimaksud jenis Casa 212 tipe 200 dengan register PK-NYC Pesawat dengan nomor penerbangan MZ 7970 itu lepas landas dari Bandar Udara Sam Ratulangi, Manado, pada Rabu, 30 Januari 1991.
Pesawat itu jatuh saat sekitar 15 menit lagi akan mendarat di Bandara Djalaluddin, Gorontalo. Jatuhnya di hutan Tihengo, Kecamatan Atinggola, Gorontalo Utara. Ber­batasan dengan Kecamatan Bulango Utara, Kabupaten Bone Bolango.
Kini pesawat pelat merah itu memang sudah tidak beroperasi lagi. Namun peristiwa di Gorontalo tahun 1991 silam itu masih terus dibicarakan usai penemuan bangkai pesawat diunggah pada 6 Maret 2018 oleh netizen.
ADVERTISEMENT
Si pemilik akun hanya memberikan keterangan, “Pesawat yang jatuh, tidak tau tahun brpa.” Belakangan diketahui, yang ber-wefie dengan latar belakang pesawat nahas tersebut merupakan warga Desa Mongiilo, Kecamatan Bulango Ulu.
Disarikan dari beberapa sumber, mereka sebenarnya hendak mencari kayu di tengah hutan. Tapi, di tengah perjalanan, mereka menemukan bangkai pesawat tersebut.
Erwin kemudian bercertia enam hari setelah jatuh, tim SAR berhasil menemukan lokasi pesawat. Sekaligus mengevakuasi keseluruhan penumpang dan kru.
Salah seorang di antara 18 penumpang yang selamat saat pesawat jatuh adalah Tomy Sako. Dia meninggal sebelum sempat di­evakuasi.
Setelah evakuasi tersebut, seiring dengan berjalannya waktu, bangkai pesawat itu terlupakan. Konon, sempat ada warga Bolaang Mongondow yang sampai ke lokasi bangkai pesawat pada 2014.
ADVERTISEMENT
Kini semak belukar menyelimuti sebagian bodi pesawat. Tapi, tulisan “Merpati” masih terlihat jelas.
Erwin mengenang, saat lepas landas dari Bandara Sam Ratulangi 27 tahun silam itu, cuaca Manado sangat cerah. Jadwal keberangkatan pun tepat waktu, pukul 14.20 Wita.
Bandara Djalaluddin di Gorontalo, yang saat itu masih menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Utara, dijadwalkan bakal dicapai dalam 55 menit. Yus Pagau (pilot), Andi Pulgandi (kopilot), dan Petrus Untung Abadi (teknisi) menjadi kru dalam penerbangan pendek tersebut.
Berdasar ingatan dan kumpulan klipingnya, Erwin menuturkan, begitu pesawat mengudara, para penumpang mendapat jatah konsumsi dari maskapai. Berupa sepotong roti dan sebotol air mineral yang merupakan layanan maskapai.
Tiga puluh menit terbang, pilot sudah mengabarkan bahwa Casa 212 akan mendarat pada pukul 15.12 Wita atau 3 menit lebih cepat.
ADVERTISEMENT
Tak lama berselang, pilot melakukan kontak dengan menara bandara dan meminta izin untuk menurunkan ketinggian dari 8.000 kaki. Ternyata, itu menjadi kontak terakhir antara menara bandara dan pesawat berbaling-baling ganda tersebut.
Yang terjadi, seperti dikenang Erwin yang saat itu menjabat direktur cabang PT Wenang Sakti Gorontalo, pesawat buatan Industri Pesawat Terbang Nusantara pada 1985 tersebut lalu mulai tidak stabil.
Sering terjadi guncangan. Pilot, papar dia, memerintahkan seluruh penumpang untuk mengenakan sabuk pengaman.
Guncangan hebat terjadi. Bahkan, saking kencangnya guncangan, sabuk pengaman salah seorang penumpang sampai terlepas.
Pesawat tidak lagi bergerak. Mesinnya tiba-tiba mati. Dari balik jendela, hanya kabut yang terlihat. Seluruh penumpang terdiam.
Baru kemudian pilot memberitahukan bahwa mereka baru saja mengalami kecelakaan. Seketika seisi pesawat panik karena tahu ternyata mereka sudah ada di atas pohon di tengah hutan.
ADVERTISEMENT
Saat itu tidak ada yang bisa dilakukan selain mengecek apakah ada yang terluka atau tidak. Tidak ada yang berani keluar dari kabin. Cuaca berubah drastis. Sesaat kemudian hujan lebat. Semua penum­pang dan kru pun bertahan di dalam kabin pesawat.
Namun, mereka mulai kehabisan oksigen. Kondisi itu membuat semua penumpang dan kru harus segera keluar dari pesawat. Mereka keluar melalui pintu depan. Turun lewat ranting pohon yang menancap di pesawat. Menuju lokasi yang sedikit landai.
Menjelang malam, mereka kembali ke kabin. Begitu seterusnya hingga hari keenam. Mereka memang sepakat untuk tidak berpencar. Itu berdasar pengalaman pahit para korban kecelakaan pesawat di Tinombala, Sulawesi Tengah, pada 1977.
Tapi, bekal roti dan air mineral pemberian maskapai hanya cukup sekali makan. Setelah itu, tidak ada lagi bahan makanan. Padahal, cuaca demikian dingin. Tiap hari hujan, disusul kabut.
ADVERTISEMENT
Beberapa dari mereka mengambil botol air mineral dan diisi dengan air rotan untuk minum. Sebenarnya berkali-kali pesawat tim SAR melintas di atas lokasi kecelakaan. Tapi, karena tertutup pepohonan dan kabut, mereka tak terpantau.
Salah seorang penumpang, Paul Sumampouw, kepala Dinas Pekerjaan Umum Sulawesi Utara saat itu, sebenarnya membawa handie-talkie (HT). Tapi, upaya Paul berkomunikasi dengan sembarang frekuensi tak membawa hasil.
Erwin yang biasa berkomunikasi dengan HT lalu mengambil alih komunikasi. Ia kemudian pakai frekuensi 500 dan tersambung dengan seorang pemilik toko di dekat Pasar Atinggola.
Sang pemilik toko merupakan pedagang harian di Atinggola. Dia selalu menggunakan HT untuk memesan bahan pokok. Kebetulan, Erwin kenal baik dengan dia.
Mereka kaget karena ternyata, penumpang pesawat masih selamat.
ADVERTISEMENT
Tim SAR lalu mengarahkan pencarian ke Atinggola. Pilot Yus Pagau bersama Erwin kemudian menginformasikan posisi koordinat mereka.
Lokasi mereka pun akhirnya ditemukan. Semua korban lalu dievakuasi secara bergantian dengan helikopter Puma milik TNI-AU dan helikopter Polri. Menuju posko di Desa Tuntung, Kecamatan Pinogaluman, Kabupaten Bolaang Mongondow.
Tak ada barang yang dia bawa ketika dievakuasi, kecuali tiga pelampung sebagai kenang-kenangan.
Selain itu, dia masih menyimpan dengan rapi foto-foto dan kliping koran yang memberitakan kecelakaan pesawat yang ditumpanginya. Kebetulan, ada penumpang yang bawa tustel (kamera yang menggunakan rol film).
Erwin mengaku tak pernah lagi berkomunikasi dengan para korban lain. Karena itu, penemuan kembali bangkai pesawat na­has tersebut seperti membuka kotak kenangannya. Dia seperti terlempar lagi ke hari-hari ketika kematian terasa begitu dekat.
ADVERTISEMENT
Erwin mengaku bahwa keselamatan dia dan para penumpang adalah mukjizat Allah. (ace)