Konten dari Pengguna

Kegagalan Anestesi, Kisah Pasien yang Terbanguun saat Operasi

Berita Viral
Membahas isu-isu yang lagi viral
27 Oktober 2020 15:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Viral tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi operasi. Foto: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi operasi. Foto: Pexels
ADVERTISEMENT
Rasa sakit yang luar biasa menjalar ke seluruh tubuh. Namun, kita sebagai pasien tak bisa berkutik dan berbuat apa-apa untuk menghentikan proses operasi yang sedang berjalan.
ADVERTISEMENT
“Aku ingat saat itu dibawa ke meja operasi. Suami dan bidan berdiri di sebelahku, lalu aku tertidur--hingga akhirnya terbangun dan merasakan rasa sakit yang luar biasa. Perutku seperti dilindas truk berulang kali,” kata Rachel Benmayor dalam wawancara dengan The Guardian (9/2).
Peritiwa ini dialami oleh Rachel tepat 30 tahun yang lalu, 1990, saat melahirkan anaknya melalui operasi caesar. Sudah 30 tahun berlalu, namun rasa sakitnya masih terbayang oleh Rachel.
Ilustrasi suntikan. Foto: Pexels
Suntikan anestesi pada dasarnya diberikan pada para pasien yang akan menjalani rangkaian prosedur operasi, terutama operasi organ dalam. Obat anestesi bekerja pada pusat sistem kesadaran manusia. Obat ini mempengaruhi membran dalam sel saraf untuk sejenak berhenti merespons--tidak sadarkan diri.
ADVERTISEMENT
Walau begitu, para ahli masih belum mengetahui apa yang sepenuhnya terjadi pada tubuh dan kesadaran manusia saat suntikan anestesi diberikan. Sebab, dalam beberapa peristiwa, dua orang disuntik dengan kadar obat bius yang sama dapat merespons dengan berbeda--durasi tidur yang bisa jadi lebih cepat atau lebih lama jika dibandingkan satu sama lain.
Seturut berkembangnya penelitian medis, obat bius kini mengandung tiga elemen: hipnotik yang membuat pasien tak sadarkan diri selama proses operasi; analgesik untuk mengontrol rasa sakit; dan relaksan otot yang berfungsi untuk menghindari pasien bergerak di atas meja operasi.
Obat-obatan bersifat hipnotik, semisal dinitrogen oksida, dianggap sebagai kandungan obat dengan efek sangat kuat. Ia mampu membuat pasien tak sadarkan diri dalam kurun waktu cukup lama.
Ilustrasi suntikan. Foto: Pexels
Semakin banyak suntikan obat bius yang diberikan para dokter, maka semakin lama pula pasien tak sadarkan diri. Namun, tidak menutup kemungkinan lama pengaruh obat bius tak seperti yang diperkirakan. Pasein mungkin terbangun saat pisau dan gunting membelah tubuhnya.
ADVERTISEMENT
“Aku bisa mendengarkan suara-suara, namun tak bisa bernapas. Aku tak sanggup menghadapi rasa sakitnya,” papar Rachel. Dan--kabar buruknya--Rachel bukanlah satu-satunya.
Sebuah studi yang di lingkup Eropa dan Amerika menemukan satu hingga dua dari 1.000 pasien pernah terbangun saat operasi. Angka ini diduga terjadi lebih tinggi di China dan Spanyol. Di Amerika Serikat, misalnya, setidaknya 20 dari 40 ribu pasien mengaku terbangun saat tengah menjalani operasi.
Terma ‘anestesi’ pertama kali diperkenalkan oleh dokter asal Inggris Oliver Wendell Holmes pada 1846, untuk menjelaskan efek obat yang ia pakai saat melakukan prosedur operasi di hadapan publik. Obat anestesi--atau obat bius--pun dikembangkan, sehingga efeknya dapat disesuaikan dengan kebutuhan prosedur yang dijalankan, seperti misalnya obat bius lokal di bagian tubuh tertentu, hingga bius umum yang membuat pasien tak sadarkan diri.
ADVERTISEMENT
Penggunakan obat bius terus memperhatikan keamanan dan ketepatan prosedur. Para ahli anestesi pun terus mengumpulkan dokumen riwayat medis dari waktu ke waktu guna mengkaji dan menemukan prosedur anestesi paling tepat dan sesuai dengan kebutuhan medis terkait.
Ilustrasi suntikan. Foto: Pexels
Prosedur umum untuk membius kerap dipahami dengan ‘membuat pasien tertidur lelap’. Namun sesungguhnya, apa yang terjadi pada tubuh bukanlah tertidur, melainkan tak sadarkan diri--sistem saraf yang sementara tak aktif merespons dan lebih sedikit ‘mengambil’ oksigen. Situasi yang berbeda dengan kondisi tidur, ketika sistem saraf masih aktif merespons dan otak tetap mengambil oksigen.
Trauma berkepanjangan, bisa berujung kematian
Bagi Rachel, pengalaman terbangun di tengah operasi membuatnya begitu mudah panik, hingga harus menjalani terapi dengan psikiater dalam jangka waktu yang cukup lama.
ADVERTISEMENT
Berminggu-minggu pascaoperasi, Rachel pernah tiba-tiba merasakan sesak dan panik seakan tak bisa bernapas. Pihak rumah sakit telah mengakui kesalahan prosedur yang dijalankan saat operasi. Akan tetapi Rachel menyatakan tak ada bantuan maupun kompensasi bagi dirinya.
“Aku berada dalam kondisi yang begitu buruk,” katanya.
Terbangun di tengah operasi dapat berdampak buruk secara psikologis terhadap pasien. Rasa sakit yang luar biasa, ketidakmampuan untuk bernapas karena berada dalam kondisi tidak sadar, hingga halusinasi yang dialami oleh pasien dapat berujung pada serangan panik akut dan trauma mendalam.
Bayang-bayang rasa sakit dapat membuat pasien sulit tidur, walau operasi yang ia jalani telah berlalu, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan lalu.
Selain efek psikologis, kesalahan prosedur pemberian obat bius dapat berdampak pada kesehatan pasien sendiri, menyebabkan stroke hingga gagal hati. Komplikasi ini cenderung ditemukan pada pasien yang memiliki masalah kesehatan cukup parah dan mereka yang berusia senja.
ADVERTISEMENT
Bahkan, kesalahan prosedur dalam memberikan obat bius dapat berujung pada kematian pasien.
Sebuah penelitian yang digarap University of Sydney menjelaskan setidaknya terdapat satu dari 20 ribu kasus pada akhirnya berakhir meninggal dunia.
Walau begitu, penelitian medis yang semakin baik dari masa ke masa berhasil menurunkan angka kasus kegagalan obat bius. Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, kasus kegagalan obat bius menurun; semula satu dari 100 kasus menjadi satu dari 1.000 kasus. Kasus kematian akibat kegagalan pun turut menurun dari satu dari 20 ribu kasus menjadi satu dari 200 ribu kasus.
Ilustrasi suasana saat operasi. Foto: Unsplash
Terdapat beberapa isu terkait bagaimana otak bekerja saat berada di bawah efek obat bius. Ahli anestesi dr. Barry Friedberg mengatakan pentingnya monitor kerja otak pasien secara teliti sebelum maupun saat operasi berjalan.
ADVERTISEMENT
“Memonitor keaktifan atau kerja otak menjadi penting untuk memastikan ketidaksadaran pasien, sehingga tubuhnya ‘siap’ untuk dioperasi,” kata Friedberg pada CNN Health (17/5/2010).
Pemantauan keaktifan kerja otak tersebut diukur dalam skala 0 hingga 100--semakin tinggi angkanya, maka semakin tinggi tingkat kesadaran pasien. Umumnya, obat bius akan membuat kesadaran pasien berada di jarak angka 45 hingga 60.
Dokter anestesi akan memantau napas dan tekanan darah pasien secara hati-hati, yang bisa meningkat dan turun sewaktu-waktu, saat pasien berada di bawah pengaruh obat bius. Hal ini dilakukan untuk mengukur perlu atau tidaknya dosis tambahan diberikan pada pasien tersebut, serta memastikan pasien tetap berada dalam kondisi tidak sadar hingga operasi usai.
ADVERTISEMENT
Insiden gagalnya pemberian obat bius umumnya memang terjadi pada operasi-operasi tertentu, seperti operasi yang bersifat mendadak atau darurat. Namun, tentu saja, seiring perkembangan teknologi dan penelitian medis, insiden semacam ini terus dikaji dan dihindari dengan berbagai temuan.
Seorang ahli anestesi dari Jepang, Jiro Kurata, menuturkan bagaimana manusia, walau dalam pengaruh obat tidur, masih memiliki kesadaran meski dalam tingkat yang begitu rendah.
“Ada bagian dari diri kita yang tidak akan pernah bisa ‘dinon-aktifkan’--alam bawah sadar--yang resisten terhadap obat bius,” tulis Jiro.
Ia menyebutkan, isu ini adalah masalah terberat yang harus dituntaskan oleh para ahli anestesi terkait kasus terbangunnya pasien di tengah operasi.
“Adakah solusi untuk hal ini--sebut saja, sains? Ada dan tidak. Teknik pemantauan kerja otak? Bisa jadi berhasil, bisa jadi tidak. Bagaimanapun, kita harus menyadari adanya batasan teknologi dan sains, serta terus ingat bahwa ada sisi manusia dan alam kesadarannya yang tak bisa sembarangan ditembus oleh teknologi dan sains,” simpulnya.
ADVERTISEMENT
(mon)