Berani Beri Anak Akses ke Medsos, Ortu Wajib Pantau Pemakaiannya

Konten Media Partner
15 Maret 2019 7:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kehadiran media sosial bagai dua sisi mata uang. Di samping membawa dampak positif, juga memiliki dampak negatif tersendiri.
ADVERTISEMENT
Tak bisa dipungkiri kalau aksiperundungan atau bullying di dunia nyata, bisa terjadi juga di dunia maya atau dikenal sebagai cyberbullying.
Menurut Dr. Brihastami Sawitri, Psikiater Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) Surabaya, siapapun bisa menjadi 'siapapun' di dunia maya. Kebanyakan pada kasus cyberbullying pelaku bisa berlindung di balik identitias palsu, dan rekam digital yang telah tersebar tidak mudah untuk dibersihkan begitu saja.
''Mungkin orang lain sudah bisa men-screen-shoot dan ikut menyebarkan dengan sedemikian mudahnya. Pada kasus cyberbullying rekam digital itu bisa dilihat satu negara bahkan seluruh dunia,'' papar Brihastami pada Basra (13/3).
Orang tua memiliki peran penting dalam memantau anak-anaknya dalam bermedia sosial, khususnya untuk mendeteksi sesegera mungkin apakah si anak menjadi korban cyberbullying.
ADVERTISEMENT
Di antaranya dengan menegaskan pembatasan penggunaan media sosial. Orang tua memiliki tanggungjawab memastikan apakah anak-anaknya sudah memenuhi batas minimal umur pengguna media sosial. Contohnya, pengguna Instagram harus di atas umur 13 tahun.
''Namun kenyataannya, banyak anak yang memalsukan umurnya. Nah di sinilah, orang tua turut berperan. Karena sebenarnya tujuan pembatasan ini untuk melindungi anak-anak sendiri,'' kata Brihastami, kala ditemui di RSUD Dr Soetomo.
Sesudah memasuki umur yang diizinkan dan anak diperbolehkan menggunakan media sosial, orang tua perlu menjelaskan dan mengedukasi terlebih dahulu aturan main menggunakan media sosial. Apa saja yang boleh diunggah dan mana yang tidak baik untuk diketahui banyak orang.
Karena anak-anak itu belum berkembang korteks prefrontalnya – bagian otak yang bisa membuat anak berpikir jauh ke depan, mempertimbangkan baik dan buruk, ataupun konsekuensi dari tindakannya apa.
ADVERTISEMENT
''Seringkali anak-anak itu belum bisa memahami dampak dari tindakan mereka. Anak-anak itu mungkin berpikir hanya untuk bercanda. Namun dari sisi korbannya, berpotensi menimbulkan trauma,'' papar dia.
Hal lain yang tak kalah penting, anak dan orang tua wajib berkomunikasi dua arah. Sehingga anak bisa terbuka dan mendiskusikan berbagai hal yang dialami, dan orang tua pun bisa mengarahkannya.
''Orang tua bisa memberi izin asal ada kesepakatan dengan anak. Misal, 'Kamu boleh bermedia sosial tetapi ada syaratnya. Misalnya, kamu harus terbuka, passwordnya harus diberitahu'. Dan ini berhak karena orang tua yang memberikan fasilitas,'' saran dr. Brihastami.
Seringkali, karena kesibukannya orang tua tidak memperhatikan perubahan apa yang dialami oleh anaknya. Mungkin menjadi korban cyberbullying, dan dampaknya sudah berat barulah diketahui.
ADVERTISEMENT
Selain itu, anak-anak juga perlu dikenalkan diet media sosial atau puasa media sosial. Ataupun kalau memang anak sudah menjadi korban cyberbullying, baiknya media sosial anak ditutup sementara hingga stresnya reda.
''Dan orang tua harus up-to-date dengan teknologi yang sekarang berkembang,'' pungkas dia. (Reporter : Fahmi Aziz / Editor : Windy Goestiana)