Data COVID-19 Beda, Epidemiolog Unair: Tracing dan Testing Kurang

Konten Media Partner
23 Juli 2021 15:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dok. Basra
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Basra
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, masyarakat dibuat bingung terkait adanya perbedaan data kasus COVID-19 yang ada di Jawa Timur khususnya di Kota Surabaya.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal itu, Laura Navika Yamani mengatakan, sejak awal pandemi pada 2020 lalu, banyak masyarakat yang mempertanyakan mengenai data COVID-19 yang ada.
"Sebetulnya isu ini sudah lama sejak tahun 2020. Kan sudah banyak yang mempertanayakan dan meragukan. Ini datanya kok kecil, padahal di lapangan banyak kasus. Kita bisa merasakan sendiri," kata Laura ketika dihubungi Basra, Jumat (23/7).
Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (FKM Unair) Surabaya ini menuturkan, untuk melihat apakah data yang ditampilkan sesuai atau tidak, masyarakat bisa menilai dan merasakan kondisi yang ada di sekitarnya.
"Misal Jatim melaporkan 0 kasus. Tapi kita menerima informasi orang meninggal dunia orang dekat kita dan meninggal karena COVID-19. Kita bisa membandingkan antara kondisi di lapangan dan yang dilaporkan," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Jika ternyata kasus dilaporkan tidak sesuai dengan keadaan rumah sakit atau kondisi di lapangan, Laura menduga jika ada sesuatu yang terjadi.
"Mungkin proses validasinya atau verifikasinya yang menahan informasi data yang seharusnya dilaporkan pada hari itu. Atau kita kurang testing, sehingga kasus yang sebenarnya ada, namun tidak terlihat," ucapnya.
Terkait kasus COVID-19 di Jatim dan DKI Jakarta yang berbeda jauh jumlahnya, Laura mengungkapkan hal itu terjadi karena kurangnya tracing yang dilakukan. Pasalnya, untuk menentukan apakah seseorang terkena COVID-19 atau tidak harus dengan pemeriksaan swab.
"Kita punya dasar orang yang terpapar COVID-19 karakternya ada tiga, yakni kondisi gejala berat, ringan, dan sedang. Kalau tanpa gejala atau OTG itu juga harus dipastikan dengan pemeriksaan. Karena OTG biasanya ketemu ketika dilakukan tracing. Kalau yang dirawat di rumah sakit kan pasti bergeja berat," jelasnya.
Pixabay.
Terkait adanya salah satu daerah di Jatim yang sudah tidak melakukan tracing lagi, Laura menyampaikan jika itu adalah hal yang tidak benar.
ADVERTISEMENT
"Jangan sampai seperti lonjakan kasus di Kudus dan Bangkalan. Karena dengan adanya tracing dan testing lebih dini itu untuk mencegah penyebaran agar tidak meluas. Karena akibatnya (jika tidak tracing) bisa aja kasusnya gak ketemu sekarang tapi bisa kejadian rumah sakit penuh," ucapnya.
Guna mencegah hal itu, Laura mengungkapkan, jika pemerintah harus memperbanyak testing. Ia mengaku, jika tidak semua orang mau berpartisipasi untuk di tes.
Oleh sebab itu, pemerintah juga harus melakukan pendekatan kepada masyarakat dengan memberikan sosialisasi dan edukasi.
"3T itu sangat perlu untuk mengatasi pandemi ini. Jadi meningkatkan tracing, karena itu bertujuan untuk menemukan kasus-kasus yang OTG atau bergejala ringan. Setelah tracing baru di testing. Nah kau sudah ketemu jagan dibiarkan, harus diisolasi, itu masuk ke dalam treatment. Karena upaya pengendalian pandemi ya 3T itu tadi," kata Laura.
ADVERTISEMENT
Selain pemerintah, masyarakat juga harus ikut berperan dalam menyelasaikan pandemi COVID-19 ini, dengan cara menerapkan protokol kesehatan 3M dan melakukan vaksinasi.
"Intinya kita gak mau berlarut-larut. Semua harus bergerak, tidak hanya pemerintah, masyarakat juga harus bergerak. Terus jangan mudah termakan hoaks. Harus pintar memilih dan memilah informasi. 3M, 3T, dan Vaksinasi adalah kunci untuk menekan angka penyebaran COVID-19," pungkasnya.