Data Kemenkes RI : 5.100 Ibu Rumah Tangga Terinfeksi HIV di Tahun 2023

Konten Media Partner
29 Agustus 2023 11:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang ibu rumah tangga di Surabaya yang tertular HIV dari suaminya yang gemar 'jajan' seks. Foto: Masruroh/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Seorang ibu rumah tangga di Surabaya yang tertular HIV dari suaminya yang gemar 'jajan' seks. Foto: Masruroh/Basra
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan jumlah kasus HIV pada 2023. Ibu rumah tangga (IRT) menjadi salah satu penyumbang terbesar dengan angka mencapai 35 persen dari total kasus yang ada. Akibatnya kasus HIV baru pada kelompok IRT bertambah sebanyak 5.100 kasus setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Penyebab tingginya penularan HIV pada ibu rumah tangga karena pengetahuan akan pencegahan dan dampak penyakit yang rendah serta memiliki pasangan dengan perilaku seks berisiko.
Melihat tren itu, Dosen Epidemiologi, Biostatistika, Kependudukan, dan Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair), Dr Arief Hargono drg MKes memberikan tanggapan. Arief menjelaskan perbedaan HIV dan AIDS yang kerap disalahartikan.
Ia mengatakan, HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiebcy Virus, yakni virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan menimbulkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Sementara AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh HIV.
“Kerusakan progresif pada sistem kekebalan tubuh menyebabkan ODHA (orang dengan HIV/AIDS, red) amat rentan dan mudah terjangkit macam-macam penyakit.” ijar Arief, Selasa (29/8).
ADVERTISEMENT
Ia menyebut bahwa seseorang dapat terinfeksi penyakit HIV/AIDS melalui darah dan cairan reproduksi. Hal ini, lanjutnya, ketika orang itu melakukan hubungan seksual dengan ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) menggunakan alat medis yang tercemar HIV, serta penularan dari ibu pengidap HIV ke bayi selama masa kehamilan, persalinan, atau menyusui.
Tingginya kasus HIV/AIDS, kata Arief, juga terpengaruhi faktor tanpa gejala atau asimptomatik.
“Seorang pengidap HIV pada stadium awal terlihat seperti orang normal karena tidak menunjukkan gejala klinis. Hal ini bisa terjadi selama 5 sampai 10 tahun,” terangnya.
Menurut Arief, pemerintah terus melakukan berbagai upaya pencegahan yang berbasis perilaku maupun biologis untuk eliminasi penularan HIV/AIDS. Dari aspek perilaku, terdapat anjuran ABCDE, yakni abstinence, be faithful, use condom, no drugs, dan education. Kemudian, pencegahan melalui vaksin, profilaksis, serta pengobatan antiretroviral (ARV).
ADVERTISEMENT
“Pemerintah telah menindaklanjuti sistem program strategis untuk monitoring dan evaluasi. Di antaranya, surveilans HIV/AIDS, peningkatan cakupan obat ARV, hingga kolaborasi TB-HIV,” tutur ketua Pengurus Cabang Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Kota Surabaya itu.
Selain pemerintah, menurutnya, perlu kolaborasi multi helix yang melibatkan peran masyarakat, akademisi, swasta, bahkan media massa. Hal ini berkaitan dengan masalah diskriminasi yang rentan dialami pengidap HIV/AIDS. Arief pun mengajak masyarakat agar menghapus stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.
Ia berharap generasi muda juga dilibatkan dalam upaya pengendalian dan pencegahan HIV/AIDS. Langkah tersebut berupa optimalisasi pengetahuan mengenai pendidikan seks, literasi media, dan program kesehatan.
“Mengintegrasikan pendidikan seks dengan media teknologi untuk mengakses informasi yang benar dari sumber kredibel. Selain itu, promosi tes HIV rutin agar mempercepat eliminasi penularan HIV/AIDS,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT