Dokter Maha: Jadi Ahli Gigitan Hewan Berbisa, Siapa Takut?

Konten Media Partner
22 April 2024 11:11 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dr,dr. Tri Maharini, M.Si, Sp.EM, saat zoom meeting, Minggu (21/4) malam.
zoom-in-whitePerbesar
Dr,dr. Tri Maharini, M.Si, Sp.EM, saat zoom meeting, Minggu (21/4) malam.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Insiden gigitan ular di Indonesia mencapai angka 135 ribu pada tahun 2021, dengan jumlah kematian sebesar 10 persen. Presentase kasus kematian akibat ular di Indonesia sebesar 10 persen ini terbilang besar, sebab WHO hanya menargetkan angka kematian karena gigitan ular sebesar 2 persen.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut mendorong Dr,dr. Tri Maharini, M.Si, Sp.EM. untuk turut bergerak memberikan pelayanan kepada masyarakat yang terkena gigitan ular.
Perempuan yang kerap disapa Maha itu merupakan satu-satunya dokter spesialis emergensi dengan subspesialisasai toksinologi di Indonesia. Namun, perjalanan awal Maha untuk menjadi dokter subspesialsasi toksikologi yang bergelut dengan gigitan ular, cukup panjang.
Maha mengaku sejak kecil tertarik tentang alam dan hewan. Setelah menyelesaikan studi spesialisnya, ia mencoba melihat apa masalah di Indonesia yang belum terselesaikan, yaitu gigitan hewan berbisa.
“Salah satu jenis hewan berbisa yang biasa ditemui adalah ular,” ujar ujar Maha, saat zoom meeting dalam peringatan Hari Kartini, Minggu (21/4) malam.
Di dunia, hanya ada 53 dokter dengan keahlian pada bidang emergency medicine, khususnya subspesialis toksinologi yang mampu menangani kasus bisa ular atau gigitan hewan berbahaya lainnya. Perempuan asal Kediri, Jawa Timur, itu termasuk satu di antaranya, juga menjadi satu-satunya pakar dari Indonesia yang mendalami rumpun kesehatan tersebut.
ADVERTISEMENT
Fakta itu ironis, mengingat secara geografis Indonesia merupakan kawasan yang menjadi habitat alami bagi ular. Hingga saat ini, terdapat sekitar 360 jenis ular, meliputi 77 ular berbisa yang tersebar di penjuru negeri, seperti Pulau Jawa dan Sumatera.
Sepak terjang Maha dalam bidang penanganan gigitan hewan berbisa bermula dari perjalanannya selama menempuh pendidikan tinggi. Usai menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Brawijaya, ia memilih melanjutkan pendidikan magister (S2) di Program Studi Imunologi, Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga, pada 2001 silam.
“Waktu itu peminatnya belum banyak karena terbilang baru berdiri. Dari tujuh mahasiswa di angkatan, hanya saya yang dokter puskesmas, lainnya dosen dan dokter umum,” ujar perempuan 53 tahun itu.
Maha menuturkan, pilihannya berkuliah di Prodi Imunologi membawanya untuk bertemu dengan Prof. Dr. Fedik Abdul Rantam, drh., serta Prof. Dr. Yoes Prijatna Dachlan, dr. M.Sc. Sp.ParK(K). Dari kedua guru besar itu, dirinya banyak memperoleh pengetahuan yang sampai saat ini bermanfaat dan mendukung karirnya sebagai dokter sekaligus toksinolog.
ADVERTISEMENT
Di tahun 2012 Maha sering mengadakan pelatihan online, dan membuat buku singkat soal bagaimana (menangani) gigitan ular.
Pada tahun 2013, Maha juga pernah mengumpulkan dokter, perawat, dan masyarakat untuk memberikan pelatihan terkait penanganan pertama terhadap gigitan ular. Lewat pelatihan itu, Maha baru mengetahui bahwa banyak dokter dan perawat yang sama sekali tidak tahu bagaimana caranya menangani pasien yang terkena gigitan ular.
"2018 saya bikin Indonesia Toksinologi di Yogyakarta dihadiri dari 11 negara. 2019 saya adakan lagi dari 4 negara, diadakan di Jakarta yang dihadiri 400 orang," tuturnya.
Semenjak mendirikan Indonesia Toksinologi, Maha mulai sering berkeliling Indonesia untuk membantu menangani masyarakat yang terkena gigitan ular, serta mencari data terkait berapa banyak masyarakat yang terkena gigitan ular.
ADVERTISEMENT