Idap Gagal Ginjal, Tubuh Remaja 17 Tahun di Surabaya Seperti Bocah SD

Konten Media Partner
2 September 2019 10:13 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Guruh Prasetyo. Foto-foto: Masruroh/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Guruh Prasetyo. Foto-foto: Masruroh/Basra
ADVERTISEMENT
Untuk ukuran remaja usia 17 tahun, postur tubuh Guruh Prasetyo terbilang mungil. Bahkan, Guruh lebih mirip bocah Sekolah Dasar. Pertumbuhan remaja asal Petemon Gang 1 No. 75, Surabaya, ini memang tak bisa maksimal karena riwayat gagal ginjal yang diidapnya.
ADVERTISEMENT
Menurut sang ibu, Pujiati, Guruh diketahui memiliki riwayat gagal ginjal saat berusia tiga tahun. Kala itu, perut Guruh membesar dan tubuhnya kurus. Diagnosis dari Puskesmas, Guruh mengalami gizi buruk.
"Kata Puskesmas Guruh gizi buruk, tapi kok enggak normal-normal badannya setelah berobat. Akhirnya saya bawa berobat alternatif, tetap hasilnya sama. Pas usia tiga tahun itu, dia sempat drop dan saya bawa ke Soetomo (RSUD Dr Soetomo--red) baru ketahuan kalau Guruh gagal ginjal," kisah Pujiati saat dikunjungi Basra di kediamannya, Sabtu (31/8).
Mendengar vonis gagal ginjal yang diberikan kepada Guruh, tentu Puji tak bisa menerimanya. Namun, pada akhirnya, Puji dan sang suami menerimanya dengan pasrah.
Karena menderita gagal ginjal, Guruh harus menjalani cuci darah setiap dua hari sekali. Namun kondisi ekomoni keluarga yang serba pas-pasan mendorong Puji meminta alternatif lain kepada dokter.
Guruh Prasetyo bersama kakaknya. Foto-foto: Masruroh/Basra
"Kalau harus cuci darah di rumah sakit jelas kami tidak sanggup, apalagi harus bolak-balik ke sana, kasihan Guruh. Akhirnya dokter ngasih alternatif cuci darah dilakukan di rumah," ujar Puji.
ADVERTISEMENT
Guruh pun menjalani perawatan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di rumah. CAPD adalah jenis dialisis yang paling portabel karena menggunakan tas manual yang berisi cairan dialisis peritoneal. Proses CAPD dilakukan setiap hari, melalui rongga peritoneum dengan perubahan kantong empat kali sehari.
Dialisis peritoneal adalah cara untuk menghilangkan produk limbah dari darah ketika ginjal tidak lagi dapat melakukan pekerjaan dengan memadai.
Satu kantong cairan dialisis peritoneal harganya Rp 75.000. Guruh harus mengganti kantong cairan tersebut setiap 4-5 jam sekali. Beruntung, biaya perawatan CAPD Guruh dapat di-cover BPJS.
Kondisi Guruh dari hari ke hari kian membaik, bahkan ia dapat melakukan aktivitas seperti anak-anak kebanyakan, seperti bermain hingga sekolah. Sayangnya, pertumbuhan tubuh Guruh tak bisa maksimal. Hingga selepas jenjang SD, Guruh menolak lanjut sekolah ke jenjang berikutnya.
ADVERTISEMENT
"Dia tidak mau sekolah lagi, karena sejak SD selalu diejek ciplek (cilik pendek elek). Dia malu karena paling kecil di antara teman-temannya," kata Puji.
Meski tak lagi sekolah, tapi Guruh tetap melakukan aktivitas kegemarannya: Bermain sepak bola. Penggemar berat Persebaya Surabaya ini tak pernah absen menonton tim kesayangannya berlaga. Bersama sang ayah, Guruh kerap menonton secara langsung laga 'Bajul Ijo' di Stadion Gelora Bung Tomo.
Namun sejak empat bulan lalu, Guruh tak bisa lagi melakukan hobinya. Sebab, Guruh divonis menderita lupus.
"Sekitar empat bulan lalu, Guruh sangat drop. Saat dibawa ke rumah sakit, dokter bilang Guruh kena lupus, imbas penyakit gagal ginjalnya," kata Puji sambil menahan tangis.
Sejak terkena lupus, Guruh kerap mengeluh capek. Dokter juga mewanti-wanti Puji agar Guruh tak terlalu kelelahan karena denyut jantungnya bisa sewaktu-waktu berhenti jika dia kelelahan.
ADVERTISEMENT
Tak cuma mengeluh lelah, sejak empat bulan terakhir, Guruh juga kerap kejang secara tiba-tiba. Awalnya, Puji kalut saat melihat Guruh kejang, namun kini dia telah terbiasa karena Guruh akan kembali seperti sedia kala.
"Kalau dia kejang, cuma saya pegangi agar tidak jatuh dan mulutnya saya kasih kain agar tidak menggigit lidahnya kalau pas lagi kejang," tukasnya.
Di tengah deraan penyakit Guruh, Puji merasa bersyukur karena kedua putranya yang lain sangat menyayangi Guruh. Bahkan sang kakak keduanya rela menjadi tulang punggung keluarga menggantikan sang ayah.
"Ayahnya sudah tidak kerja karena fokus merawat Guruh. Kakak pertama Guruh juga baru keluar dari pekerjaannya karena motor yang biasa dipakai bekerja harus dipakai buat mengantarkan Guruh ke rumah sakit. Guruh kan tidak boleh kelelahan. Saya juga tidak kerja, enggak tega ninggal Guruh," jelas Puji, kali ini tak kuasa menahan tangisnya.
Ibunda Guruh. Foto: Masruroh
Puji mengatakan, dukungan dari keluarga besarnya juga turut meringankan beban ekonominya. Puji bersama suami dan ketiga buah hatinya diberi tempat tinggal gratis oleh sang kakak.
ADVERTISEMENT
Kini, Puji sedang dibingungkan dengan permintaan Guruh, yakni sebuah kursi roda. Karena kerap mengeluh capek, Guruh pun meminta kursi roda kepada sang ibu. "Belum bisa beli kursi roda buat Guruh. Ya sudah akhirnya dia sering minta gendong ayahnya atau kakaknya. Kalau saya bisa gendong sebentar saja. Semoga nanti bisa belikan Guruh kursi roda," ujarnya mengakhiri perbincangan dengan Basra.
(Reporter: Masruroh/Editor: Windy Goestiana)