Ini Rekomendasi Pakar Geologi ITS Soal Erupsi Gunung Semeru

Konten Media Partner
9 Desember 2021 10:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Semeru oleh PVMBG.
zoom-in-whitePerbesar
Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Semeru oleh PVMBG.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Erupsi Gunung Semeru yang terjadi pada 4 Desember lalu, membuat beberapa wilayah di sekitarnya tertutup material vulkanik hingga menelan korban jiwa.
ADVERTISEMENT
Menanggapi kejadian tersebut, pakar geologi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) M Haris Miftakhul Fajar MEng mengungkapkan bahwa guguran material tersebut sebagian besar merupakan akumulasi hasil erupsi di hari-hari sebelumnya.
Haris menuturkan, jika erupsi merupakan proses alami yang berkaitan dengan proses endogenik dan disebabkan oleh ketidakstabilan dapur magma.
Menurutnya, rekaman aktivitas seismik Gunung Semeru saat itu diketahui tidak menunjukkan adanya gempa karena erupsi yang besar. Tetapi terekam data seismisitas akibat aktivitas guguran yang meningkat tajam dan gempa erupsi intensitas kecil.
Bila merujuk pada data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), sejak November lalu, terjadi adanya peningkatan aktivitas vulkanik berupa gempa erupsi Gunung Semeru.
ADVERTISEMENT
“Maka, bersamaan dengan adanya peningkatan aktivitas erupsi, terindikasi pula adanya peningkatan jumlah material vulkanik yang terkumpul di sekitar kawah,” tutur Haris, Kamis (9/12).
Penumpukan jumlah material di tudung Gunung Semeru dan ketidakstabilan lereng mengakibatkan puncak semakin tinggi. “Apalagi, material erupsi keluaran Gunung Semeru masih berupa material vulkanik yang tidak terkonsolidasi,” terangnya.
M Haris Miftakhul Fajar MEng, dosen dan peneliti di Departemen Teknik Geofisika ITS.
Dosen Departemen Teknik Geofisika ini, mengungkapkan, karakteristik material itu sangat mudah tergerus dan dapat mengakibatkan terjadinya runtuhan.
Ditambah lagi cuaca ekstrem di akhir tahun 2021 kali ini, turut mendorong proses pengikisan semakin meningkat. Alhasil, di tengah hujan deras Sabtu (4/12) lalu, guguran material vulkanik berdampak sangat masif di beberapa lereng Gunung Semeru.
Hal ini terlihat dari adanya hujan abu yang disertai awan panas guguran (APG). Apalagi masyarakat cenderung tidak merasakan getaran gempa erupsi Gunung Semeru saat peristiwa ini terjadi.
ADVERTISEMENT
“Saat runtuhan terjadi, sebenarnya juga disertai dengan getaran. Tetapi, magnitudo getarannya kecil, sehingga tidak sampai terasa oleh warga sekitar. Namun, getaran itu dapat ditangkap oleh seismograf sebagai seismisitas guguran," ungkapnya.
Sementara itu, data seismograf juga berhasil mendeteksi adanya seismisitas akibat erupsi pada pukul 14.50 WIB di hari yang sama dengan amplitudo maksimum 25 mm dan durasi 5.160 detik.
Dari situlah, terindikasi adanya erupsi yang langsung terjadi pasca terjadinya guguran material vulkanik akibat pengurangan tekanan di lapisan bagian atas Gunung Semeru.
Data kegempaan Gunung Semeru pada 90 hari terakhir (Sumber dari https://magma.esdm.go.id/).
Meskipun material runtuhan sebagian besar berasal dari endapan material vulkanik dari erupsi sebelumnya dan bukan material yang baru keluar akibat erupsi besar. Material tersebut tetap menyimpan panas dengan suhu yang tinggi yaitu di sekitar 300 - 700 derajat celcius.
ADVERTISEMENT
“Sehingga, saat endapan material vulkanik runtuh, awan panas yang menyertai bersuhu sekitar 200 - 400 derajat celcius dan masih terdapat pula lahar hujan yang juga bersifat panas," ucapnya.
Meski demikian, Haris mengatakan jika aktivitas gunung api tersebut merupakan siklus. Karena hukum alam, aktivitas tersebut pasti akan mengalami perulangan.
“Tetapi tidak perlu panik dan harus tetap waspada, sadari bahwa Gunung Semeru saat ini sedang melakukan rutinitasnya,” pesannya.
Haris juga mengingatkan, agar semua pihak dapat mematuhi peta kawasan rawan bencana (KRB) Gunung Semeru yang telah dibuat PVMBG. Berdasarkan peta tersebut, dapat diketahui bahwa salah satu area yang paling berdampak dan berpotensi alami kerusakan paling masif adalah Desa Cupiturang.
“Di kawasan seperti itu, jika musibah masih terjadi setelah adanya peringatan, tentu menambah keprihatinan kita semua,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, hal ini patut dijadikan pelajaran, bahwa penting kiranya penataan ruang juga didasarkan pada Peta KRB. Serta, kepada masyarakat dan relawan yang bekerja dalam proses evakuasi saat ini, ia mengingatkan agar senantiasa mewaspadai kemungkinan adanya guguran material vulkanik susulan.
“Waspadai juga adanya potensi erupsi susulan akibat lapisan penutup yang menahan tekanan telah berkurang,” tutupnya.