Kelas 6 SD Diponegoro Ini Cuma Punya 3 Siswi, Ini Kisah Mereka

Konten Media Partner
22 April 2019 12:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dari kiri : Uswatun Hasanah, Nurul Imamah, dan Atasya Maudy Zarapova. Foto : Windy Goestiana/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Dari kiri : Uswatun Hasanah, Nurul Imamah, dan Atasya Maudy Zarapova. Foto : Windy Goestiana/Basra
ADVERTISEMENT
Kelas 6 di SD Diponegoro Surabaya hanya memiliki tiga orang siswa dari yang awalnya memiliki tiga belas siswa. Jumlah murid tersebut berkurang seiring dengan adanya kenaikan kelas dan bahkan ada siswa yang memilih untuk tidak melanjutkan sekolah lagi.
ADVERTISEMENT
Adapun ketiga siswa tersebut yaitu Atasya Maudy Zarapova (13), Nurul Imamah (13), dan Uswatun Hasanah (11). Rasa sedih kadang menyelimuti perasaan mereka lantaran tak memiliki banyak teman, salah satunya adalah Atasya.
''Sepi kelasnya, cuma ada kami bertiga. Kalau enggak masuk satu, tinggal berdua,'' kata Atasya saat bercerita pada Basra selepas Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Senin (22/4).
Sehari-hari Atasya, Nurul, dan Uswatun atau yang akrab disapa Uus, menikmati kebersamaan dengan berbagai cara. Saat di sekolah, bila jam istirahat mereka akan bertukar cerita tentang film India favorit mereka yang berjudul 'Vivah'.
Sementara saat di luar sekolah, mereka sering berkunjung ke rumah satu sama lain untuk mengerjakan tugas atau berangkat mengaji bersama.
ADVERTISEMENT
''Kebetulan tempatku mengaji dengan Uus sama, jadi kita lebih sering ke mana-mana bersama,'' kata Nurul.
Foto : Windy Goestiana/Basra
Hal ini membuat Atasya, Nurul, dan Uus paham tentang keluarga masing-masing. Ayah Nurul, Abdulla, sehari-hari bekerja sebagai pengayuh becak di Pasar Turi Surabaya. Nurul dan orang tuanya juga sudah lama tinggal terpisah karena orang tuanya pindah ke daerah Tambak Wedi, dekat Jembatan Suramadu.
''Jadi saya tinggal sama mbah (kakek). Saya bantu menjaga kakek dan membersihkan rumah. Saya menyapu, mencuci baju, cuci piring, dan setrika karena mbah sudah tua,'' tutur Nurul.
Sedangkan Atasya, sejak setahun lalu menjadi yatim karena sang ibu meninggal dunia. ''Ibu sakit darah tinggi dan diabetes. Jadi sekarang saya tinggal sama ayah, dua kakak, dan adik saya masih umur tiga tahun,'' ujarnya.
ADVERTISEMENT
Untuk membiayai kebutuhan hidup keluarga, ayah Atasya, Anis Basjoru, bekerja sebagai sopir di sebuah pabrik. Atasya juga sempat menjual gorengan untuk menambah pendapatan keluarganya.
Foto : Windy Goestiana/Basra
Sementara Uus merupakan anak keempat dari enam bersaudara. Ayah Uus, Mohammad Suja, adalah penjual sate di daerah Gubeng, sedangkan ibunya menjual sate di pasar Pacar Keling.
''Kalau lagi bosan, saya senang jalan-jalan ke pasar lihat-lihat baju bagus,'' kata Uus, lalu tertawa bersama Atasya dan Nurul.
Wawancara Basra bersama tiga sahabat ini juga didampingi guru kelas mereka, Iswati Rokhayani. Iswati menceritakan ada suka dan duka tersendiri selama mendampingi ketiga siswi yang beranjak dewasa itu.
''Dulu mereka (Uus dan Nurul) lebih fasih berbahasa Madura karena memang lahir di Sampang, Madura. Jadi untuk mengajarkan Bahasa Indonesia itu sulit sekali. Kalau berbahasa Indonesia, susunan kalimatnya sering berantakan. Sekarang Alhamdulillah sudah lebih baik,'' kata Iswati.
ADVERTISEMENT
Iswati berharap ketiga muridnya itu bisa lulus dengan baik dan melanjutkan ke sekolah yang mereka impikan. Menurut Iswati, Nurul berencana kembali ke Sampang dan masuk ke pondok pesantren, sedangkan Uus ingin sekolah di SMP Negeri 29 Surabaya.
''Kalau nilai saya kurang bagus, saya akan sekolah di SMP Diponegoro,'' kata Atasya.
Reporter : Windy Goestiana