Kisah Santri di Dolly yang Taubat Berkat Pesantren Jeha

Konten Media Partner
17 Juni 2021 17:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Edi Gunawan bersama sang ustadzah, Khabibah. Foto-foto: Masruroh/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Edi Gunawan bersama sang ustadzah, Khabibah. Foto-foto: Masruroh/Basra
ADVERTISEMENT
Segera ditutupnya Pondok Pesantren Jauharotul Hikmah (Jeha) di kawasan eks lokalisasi Dolly, Surabaya, memantik kesedihan bagi para santrinya. Salah satunya Edi Gunawan. Remaja 18 tahun ini mengaku tidak rela jika tempatnya menimba ilmu agama selama tiga tahun terakhir harus ditutup.
ADVERTISEMENT
"Sedih banget Jahe mau tutup. Saya kan belajar sholat dan ngaji disini," ujar Edi kepada Basra, Kamis (17/6).
Edi menuturkan Jeha telah membawa banyak perubahan positif dalam dirinya. Sebelum bergabung dengan Jeha, Edi mengaku banyak melakukan perbuatan yang dilarang agama.
"Ya ngobat (narkoba) sampe ngombe (minum minuman keras) sama teman-teman," tukasnya.
Tempat yang dijadikan Edi dan kawan-kawannya melakukan perbuatan dosa tak lain adalah rumah yang ditempati Ponpes Jeha. Diungkapkan Edi yang merupakan warga sekitar, sebelum ditempati Jeha, rumah di kawasan Kupang Gunung Timur 1 itu merupakan tempat berkumpulnya para remaja. Tak sekedar ngumpul tapi juga melakukan perbuatan maksiat mulai dari pesta narkoba hingga pesta seks.
Ponpes Jeha di Dolly
"Dulunya kan wisma, setelah Dolly tutup akhirnya kosong dan rumahnya tidak ada yang jaga, juga tidak dikunci. Ya sudah jadi tempat nongkrongnya anak-anak termasuk saya," jelas Edi.
ADVERTISEMENT
Awalnya hanya remaja sekitar rumah tersebut yang nongkrong, namun seiring berjalannya waktu remaja di luar Dolly, kata Edi, juga turut serta. Mirisnya, meski ada sekolompok muda mudi di rumah tersebut, namun tak ada warga yang menegur.
"Nggak ada (warga yang menegur), ngelarang juga enggak. Jadi anak-anak bebas," imbuh Edi.
Aktivitas sekelompok remaja di rumah tersebut mengundang keprihatinan pengurus Ponpes Jeha yang berlokasi di Putat Jaya. Hingga akhirnya di tahun 2018 pengurus Jeha menyewa rumah tersebut untuk dijadikan cabang ponpes.
"Anak-anak yang biasa nongkrong disana tetap kami persilahkan. Kami tidak melarang mereka nongkrong asal mengikuti peraturan Jeha," ujar Muhammad Nasih, pengurus harian Ponpes Jeha.
Kegiatan keagamaan seperti mengaji hingga sholat berjamaah rutin digelar Jeha di rumah berlantai tiga tersebut. Hingga sedikit demi sedikit remaja yang biasa nongkrong mulai tergerak mengikuti kegiatan keagamaan yang digelar Jeha.
ADVERTISEMENT
"Akhirnya ya anak-anak mau gabung dengan kita tanpa paksaan. Tapi ada juga yang menolak gabung dan akhirnya tidak lagi nongkrong disini," tukas Nasih.
Kabar akan tutupnya Jeha di kawasan tersebut, diakui Edi, turut disambut gembira teman-teman Edi yang enggan bergabung dengan Jeha. Bahkan secara terang-terangan mereka mengaku akan menjadikan rumah tersebut sebagai 'markasnya' lagi.
"Ya katanya teman-teman mau mbalek (kembali) kalau nanti Jeha sudah tutup," lirih Edi.
Edi berharap rumah tersebut masih akan ditempati Jeha. Mengingat ada banyak nilai-nilai kebaikan yang telah diajarkan Jeha kepada anak-anak sekitar.
Namun sepertinya keinginan Edi akan sulit terwujud. Pasalnya seperti dikatakan Nasih, jika harga sewa dari rumah tersebut sangat memberatkan.
"Bulan ini terakhir masa kontrak kita. Harga kontraknya mau dinaikkan jadi Rp50 juta per tahun, dan kalau mau dibeli harus bayar Rp3 miliar. Ya cukup memberatkan buat kita," tukas Nasih.
ADVERTISEMENT