Mayoritas Remaja Pacaran Alami Kekerasan, Mulai Dibentak Sampai Dipaksa Seks

Konten Media Partner
13 Februari 2021 14:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi remaja pacaran. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi remaja pacaran. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Salah satu hal yang terjadi dalam dunia remaja adalah trend pacaran yang digemari sebagian remaja. Memang tidak dapat dipungkiri bila pacaran merupakan fenomena tersendiri di kalangan remaja. Namun sayangnya, tren pacaran di kalangan anak muda saat ini sudah disertai dengan aksi kekerasan, baik psikis, verbal, ekonomi, hingga seksual.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan riset yang dilakukan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kentingan Universitas Sebelas Maret, terungkap jika mayoritas remaja yang berpacaran mengalami tindak kekerasan. Riset yang dilakukan terhadap 211 responden ini, 159 diantaranya menyatakan telah mengalami Kekerasan Dalam Pacaran (KDP).
"Kekerasan dalam pacaran ini mulai dari psikis seperti bullyng, dibentak, dan dihianati, sampai kekerasan seksual seperti diraba dan berlanjut pada hubungan seksual," ujar Ellen P. Wijaya, Redaktur Riset LPM Kentingan Universitas Sebelas Maret, dalam Campus Online Talkshow: Menciptakan Kampus Yang Aman, 'Relasi Asyik Nggak Toxic', (8/2).
Lebih lanjut Ellen menuturkan, salah satu faktor penyebab KDP adalah budaya patriarki yang mengakar pada masyarakat. Sebuah hubungan relasi yang mempunyai perasaan superior dan ingin menguasai pasangannya dapat menyebabkan sebuah hubungan menjadi toxic. Bahkan kini kasus KDP semakin tinggi tanpa adanya payung hukum yang melindungi korban kekerasan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu Cantyo A. Dannisworo, Psikolog Klinis Yayasan Pulih mengatakan, hubungan relasi seperti berpacaran adalah hubungan umum yang sering dijalankan remaja hingga dewasa. Memiliki pasangan atau pacar seringkali menjadi tolok ukur kebahagiaan dan standard dari lingkungan yang harus dicapai.
"Padahal hubungan berpacaran bisa saja tidak seindah apa yang orang katakan, tidak semanis lagu cinta yang kita dengar, atau tidak seromantis film seri kesukaan kita. Kadang kita bisa terjebak di dalam hubungan yang justru menyengsarakan diri kita. Sayangnya, hubungan yang tidak sehat ini bisa saja tidak kita sadari," jelasnya.
Cahyo menuturkan suatu relasi bisa dikatakan akan menjadi toxic apabila memiliki ciri salah satunya sudah ada konflik dan pelaku meminta maaf namun masih mengulangnya lagi.
ADVERTISEMENT
"Ada kekerasan di dalam relasi dan pelaku meminta maaf atas tindakannya. Kemudian relasi itu menjadi tenang kembali, tapi ini tidak berlangsung lama. Nanti ada konflik lagi, pelaku minta maaf lagi. Jadi terus berulang," paparnya lagi.
Jika sudah demikian, Cahyo pun menyarankan untuk segera melakukan tindakan (take action) dengan menyelesaikan masalah. Namun jika sudah tidak bisa lagi, maka sebaiknya meninggalkan penyebab toxic tersebut.
"Oleh karena itu, kita terkadang perlu lebih mendengar hati dan tubuh kita, apakah sebenarnya kita bahagia di dalam hubungan (relasi) saat ini," tukasnya.
Ratu Ommaya, Public Relations and Community Manager The Body Shop® Indonesia, dalam Campus Online Talkshow: Menciptakan Kampus Yang Aman, 'Relasi Asyik Nggak Toxic'.
Campus Online Talkshow merupakan agenda rutin yang digelar The Body Shop® Indonesia sebagai untuk mengajak berbagai lapisan masyarakat untuk membangun awareness dan edukasi untuk masyarakat, khususnya para generasi muda.
ADVERTISEMENT
"Campus Online Talkshow ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi masyarakat luas khususnya milenial dalam memahami mengenai kekerasan seksual di Indonesia," ujar Ratu Ommaya, Public Relations and Community Manager The Body Shop® Indonesia.
Ommaya menuturkan, banyak dari kekerasan seksual terjadi di lembaga pendidikan. Sayangnya, kasus-kasus ini sering kali menguap tanpa memberikan keadilan pada korbannya. Salah satu penyebab utamanya adalah budaya permisif terhadap kekerasan seksual.
Kasus kekerasan seksual, lanjut Ommaya, bisa diibaratkan seperti fenomena gunung es. Hal tersebut dikarenakan masih banyaknya korban yang enggan melaporkan. Terlebih, masih belum adanya regulasi yang mengakomordir hal tersebut.
"Oleh karena itu, kami gencar mendukung untuk disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUPKS) karena didalamnya memuat aturan dengan mengakomodir 9 bentuk kekerasan seksual," pungkas Ommaya.
ADVERTISEMENT