Melihat dari Dekat Pertunjukan Ludruk Milenial di Masa Pandemi

Konten Media Partner
19 Juli 2020 9:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Foto-foto: Amanah Nur Asiah/Basra
Mangan tebu nang tengah sawah
Tebue entek ngrokoti blewah
ADVERTISEMENT
Telu ulan lebih aku nang omah
Nuruti anjurani pemerintah
Supoyo menjaga pandemi
Mangan mie dikeki ragi
Mugo-mogo pandemi segera pergi
Begitulah parikan yang dilantunkan oleh Robert Bayoned sebagai sutradara ketika membuka pementasan ludruk The Luntas Indonesia.
Robert begitu akrab disapa menjelaskan, pementasan yang digelar di tengah pandemi COVID-19 ini bersamaan dengan dibukanya panggung Javadwipa Creative Base di AJBS Creative World sebagai tempat berkarya.
Selain itu, pertunjukkan kali ini merupakan bentuk kritikan para seniman kepada pemerintah.
"Ini adalah bentuk protes kita. Sudah empat bulan lebih kita tidak bekarya. Kita disuruh diam di rumah tanpa penghasilan. Karena seniman ini kan penghasilnnya ya dari pertunjukkan. Seandainya pemerintah bisa menopang kehidupan seniman ya kita tidak pentas," jelas Robert pada Basra usai pementasan, Sabtu (19/7) malam.
ADVERTISEMENT
Robert mengungkapkan, apa yang ia lakukan ini bukanlah melawan aturan dari pemerintah. Meski melakukan pementesan di tengah pandemi, pihaknya tetap menerapkan protokol kesehatan yang sudah diatur.
Hal ini terbukti, sebelum memasuki ruangan, penonton diwajibkan menggunakan masker dan disemprot hand sanitizer agar tangan tetap dalam kondisi bersih. Bahkan kursi penonton juga diberikan jarak agar tetap physical distancing.
"Kita bukan melawan atau tidak patuh dengan aturan. Kita patuh dengan tetap mematuhi protokol. Kita jaga jarak, pakai masker, ada hand sanitizer juga. Karena gejolak kita untuk pentas itu terbelenggu, tidak ada penghasilan. Jadi inilah salah satu cara yang kita lakukan," tuturnya.
Dalam pementasan ludruk kali ini, Robert mengangkat tema Sampek Engthay yang berkisah tentang legenda cinta negeri Tiongkok.
ADVERTISEMENT
"Kisahnya ini seperti kisah romeo dan juliet (kasih tak sampai) dalam versi Cina. Karena Surabaya ini masyarakatnya kan komplek. Kita ingin mengenalkan bahwa etnis Cina ini adalah saudara kita juga. Toh orang Cina yang asli Indonesia juga banyak, biar nggak ada rasis," kata Robert.
Dengan adanya pementasan itu, Robert berharap dapat menggugah seniman lain untuk terus berkarya di tengah pandemi. Agar budaya ludruk ini tetap ada dan dapat dilestarikan oleh generasi muda.
"Karena ludruk sudah kehilangan generasi pemain dan penonton. Kalau dari awal kita tidak mencari generasi dari kedua itu ya bakal hilang kesenian ludruk ini. Untuk itu, dalam setiap pementasan kita juga bawakan cerita dan lagu kekinian agar penonton juga terhibur," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu Heni Wiranita, salah satu penonton asal Karang Pilang, Surabaya ini membawa sang anak untuk menyaksikan pertunjukan ludruk.
Ia pun mengaku senang, lantaran masih dapat menikmati kesenian tradisional tersebut dan mengenalkan kepda sang anak.
"Karena anak-anak ini kan udah lama juga di rumah. Kebutulan ada pertunjukkan ini (ludruk) jadi saya ajak mereka, biar mereka juga tau kesenian tradisonal. Apalagi pementasan ludruk sekrang sudah jarang sekali," tutupnya.
Diketahui, agar kesenian ludruk tidak punah, pementasan ludruk The Luntas ini rencananya akan diadakan dua minggu sekali di Javadwipa Creative Base Surabaya.